0.1 Acquaint

1.2K 158 35
                                    

Kim Seokjin, seorang siswa teladan yang diberi cap nyaris memiliki hidup sempurna. Tanpa beban dan kesedihan. Dianggap suci tanpa dosa dan seringkali dikira lugu. Seokjin sudah hafal dan memaklumi julukan teman-teman kelas untuk dirinya.

Sudah terbiasa kalau tengah dihadapkan pada jam kosong, ia hanya akan menelungkupkan kepala di meja seraya mendengarkan lagu penghantar tidur di ponsel yang tertancap kabel alat pendengar daripada berlarian kesana kemari atau mengganggu anak orang dan terkikik sederas-derasnya.

Seokjin sedikitnya menyetujui perihal hidupnya yang tanpa beban, ya, memang, ia tak pernah hirau dan memilih melupakan saja semua retetan kalimat busuk yang membuat wajahnya menua.

Kecuali kalau retetan kalimat itu keluar dari mulut mungil adik sepupunya yang bernama Min Yoongi. Min Yoongi yang selalu menantikan Seokjin untuk berhenti menumpang hidup pada orang tuanya dan berharap dihapuskan seluruh afeksi yang telah dikirim Bibi Juhyoon dan Paman Donghae.

Seokjin yatim piatu, tak punya siapa-siapa selain istri Paman Min atau ibu dari si Min Yoongi yang menjengkelkan itu. Ia bersyukur, bahkan ingin membalas semua jasa mereka suatu hari nanti. Untuk itu Seokjin tak ingin membuat masalah apapun, tak ingin menyakiti jiwa siapapun dan akan membuat bangga bibi dan paman setiap hari.

Ia mesti giat, pintar dan tidak diremehkan disana dan sini. Tujuannya agar tidak membuat jasa bibi dan paman terbuang sia-sia. Tetapi Yoongi menganggap itu merupakan suatu upaya Seokjin untuk menarik perhatian orang tuanya dan melupakan Yoongi.

Seokjin tidak begitu, tetapi Yoongi mana mau mengerti.

Dia memejamkan mata sampai bunyi bel sekolah menandakan kegiatan pembelajaran berakhir. Seokjin berdiri di depan kelas Yoongi dengan kepala yang senantiasa tertunduk seraya memilin tali tas ransel di kanan dan kiri untuk menunggu sang empu menampakkan presensi.

Beberapa sekon setelah itu ia tersenyum kecil sekali tatkala presensi Yoongi berhasil menyembul di balik pintu beserta raut hambarnya yang tak pernah memudar seraya berjalan gontai.

"Seharusnya kau tak perlu menunggu di depan kelasku, Seokjin."

"Ah, itu—supaya aku tak sulit mencarimu kalau—"

"Menyebalkan, untuk berbicara yang jelas saja ia tidak pandai." Yoongi berdecih lalu tertawa miris menyadari betapa bodohnya seorang Kim Seokjin yang selalu di anggap pintar. Senantiasa di tebak berapa nominal jumlah angka IQ-nya dan sialnya di anggap tinggi. Ya, saking pintarnya sampai kadang-kadang bertingkah kuno dan menjijikkan.

"Kau sudah makan? Tadi aku tidak sempat menyantap bekal yang dibuat ibu."

"Bibi, Seokjin. Dia ibuku bukan ibumu."

"Maaf. Iya, bibi bukan ibu. Mau bantu aku menghabiskannya?"

Yoongi memutar malas kedua bola mata, bibirnya mencebik kesal. Lalu Yoongi berhenti, menatap Seokjin kentara tak senang. "Kau pikir aku tong sampah yang harus menghabiskan sisa makananmu?"

Seokjin menggeleng cepat, terkesiap dengan bibir gugup untuk mencekal kalimat Yoongi, "Bu-bukan, Yoongi. Bukan sisa, ini belum aku sentuh sama sekali. Masih bagus—"

"Untuk apa? Agar tidak dimarahi ibu, ya? Huh, apa peduliku?!"

Seokjin tertunduk diam, menggigit bibirnya yang melengkung bersamaan dengan perasaan yang tak tenang seraya mengoyangkan telapak kaki mengibas debu di lantai semen. Ia mengangguk ragu usai membuat Min Yoongi muak dengan tingkah lugunya, "Iya, Yoon."

"Cih!" Lalu melenggang cepat tanpa sepengetahuan Seokjin yang harus buru-buru mengikuti langkah Yoongi yang bahkan hampir berlari menuju ibu yang menunggu di depan gerbang.

CalamityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang