Kim Seokjin memperhatikan wanita paruh baya yang sedari tadi sibuk mengelap lengan dan kakinya lewat tatapan hampa. Tatapan hampa sedangkan isi kepalanya berputar hebat seakan ingin dimuntahkan. Seokjin masih gelisah, tetapi ia sudah lelah jika terus-menerus memperdalam rasa frustrasi di dalam dirinya.
Terkadang ia ingin berteriak lantang, mengadu, mengatakan bahwa seharusnya ia tidak menanggung masalah ini. Tapi entah harus mengadu yang bagaimana, dirinya masih terlampau bingung untuk menyusun kata-kata, masih gugup untuk memberikan surat panggilan dari sekolah kepada bibi yang sama kacaunya akibat kondisi Seokjin. Maka, Seokjin terus diam, entah sampai kapan harus diam.
"Seokjin, sudah bisa ceritakan sesuatu yang terjadi padamu kemarin?" Bibi mendekat kemudian mengelus rambutnya disusul paman yang masuk ke dalam kamar seraya menenteng semangkuk bubur untuk makan siang.
Tidak bisa cerita, selamanya akan begitu. Aku takut.
Tetapi Seokjinpun tak bisa mempertahankan ketakutannya untuk bercerita. Gerak tubuhnya menyiratkan keraguan dan kegelisahan, kendati begitu Seokjin tetap akan membuka suara, ini waktunya, semoga baik-baik saja.
"Aku tidak mencuri, bukan aku yang merusak barang mereka. Tetapi—aku diberi surat panggilan orangtua. Maafkan aku."
Bergerak gesit membongkar isi tas miliknya untuk meraih surat yang diberikan oleh guru konselingnya di sekolah. Memberikan ragu-ragu ke dalam tangan paman sedangkan bibi sudah terduduk frustrasi di samping paman.
"Maafkan aku..."
"Bukan aku yang melakukannya."
"Aku tidak mencuri, sungguh!"
Tidak ada respon mengenai surat yang ada di tangannya, yang jelas wajah paman berubah dingin seperti kemarin. Bibi juga demikian. Menggeser mangkuk lebih dekat ke arah Seokjin, sebelum benar-benar pergi bibi membuka suara, "Habiskan makananmu."
Begitu saja, kemudian Seokjin kembali berteman dengan sepi juga bersama kecut hati. Memeluk lututnya kelewat erat, Seokjin sibuk merapal dengan bibirnya yang bergetar.
Bukan aku—semua akan baik-baik saja.
~~~
"Yoon, kau merasa tidak keterlaluan? Ini kali kedua orangtuamu dipanggil sekolah."
Dalam hati terdalam Yoongi mengaku begitu. Tetapi semua yang dilakukannya akan berakhir sia-sia jikalau Seokjin belum benar-benar dibuang dari hidupnya.
"Selama dia belum pergi dari rumahku, aku tidak merasa begitu."
Namjoon menghela napas gusar, sahabatnya terlihat mengerikan saja semakin lama.
"Bukan begitu, maksudku, semua hal butuh proses dan proses dari masalahmu ini berbahaya, Yoon."
Min Yoongi mengakhiri percakapannya pada Namjoon dengan dengusan kesal, lalu melangkah hampa untuk mengambil duduk di depan kelas menatap Seokjin yang di seberang sana—di depan ruang konseling—tengah berdiri gugup seraya menggigit kuku jarinya.
"Sebenarnya aku tidak perlu takut kalau dia mati, aku menginginkan itu. Park jimin pelakunya, bukan aku yang melakukannya."
~~~
Aktivitas makan malam di rumah kali ini benar-benar jauh dari kata hangat, benar-benar diam tanpa konversasi apapun. Saling fokus masing-masing terhadap makanan membuat Seokjin kehilangan nafsu menatap hidangan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calamity
Fanfiction"Tetapi pada akhirnya semua orang pasti bersalah, bukan?" [On-Going] June, 2020 ☘ ©ieuaraz