Seokjin tahu, perihal perdebatan malam itu yang dikemas dengan baik oleh keluarga Min dan mengatakan bahwa mereka baik-baik saja kepada Seokjin seolah semua hari adalah hari yang sama seperti dahulu. Dan Seokjin mengerti bahwa tidak ada hari yang seperti dahulu sebab kini yang selalu menggantung di udara adalah atmosfer dingin.
Usai perdebatan malam itu, semua orang berubah diam. Tidak ada tawa bahkan sekedar sapaan basa-basi di pagi hari. Dan yang lebih kontras berubah adalah seluruh anggota keluarga ini lebih memilih untuk sibuk dengan diri sendiri. Sampai apapun itu harus dilakukan secara mandiri, termasuk perihal antar-jemput ke sekolah.
Ya, Seokjin bisa apa selain mengikuti perkara yang mereka ciptakan. Kendati demikian, setidaknya Seokjin masih hidup serba cukup, hanya hal-hal kecil saja yang berubah seperti tidak ada lagi kamus kata manja di dalam rumahnya sekarang. Sebab, tak lagi sama, seolah ada tembok yang membatasi masing-masing dari mereka.
Sudah seminggu berlalu, agaknya Seokjin mulai bisa terbiasa. Mendapat perlakuan buruk di sekolah, merasakan atmosfer dingin dan terkadang pertengkaran kecil di rumah. Seokjin sudah terbiasa.
Pada akhirnya semuanya sama saja 'kan? Sama saja bahwa tak ada lagi sebuah rengkuhan hangat, tetapi Seokjin tidak pesimis. Ini bukan akhir, mungkin ini merupakan pertengahan. Ia berharap akhirnya mereka akan bahagia.
Seperti pagi biasanya, Seokjin berangkat menggunakan bus bersama Yoongi yang duduk terpisah bersama jarak yang lumayan jauh, lalu menapak kaki di dalam kelas yang berbeda. Kemudian Seokjin menelungkupkan kepala di atas meja menunggu pelajaran dimulai dan setelahnya belajar dengan produktif bersama otaknya yang cerdas.
Detik-detik berikutnya Seokjin akan menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku seorang diri di dalam kelas disaat yang lainnya tengah mengisi perut di kantin.
Hari-hari miliknya selalu seperti ini, sendiri, tanpa teman. Lebih tepatnya memang karena Seokjin yang dari awal menutup diri sampai waktu berikutnya ia terus seperti ini, terus sendiri yang dianggapnya menjadi sebuah ketentraman.
Seharian menjalani kegiatan belajar, di detik-detik terakhir sebelum bel menandakan pulang sekolah berbunyi, Seokjin memilih keluar dari kelasnya yang bising bukan main sebab barangkali guru yang seharusnya mengajar tengah berada pada urusan lain yang dianggapnya lebih penting daripada tanggung jawab.
Seokjin tidak melakukan hal aneh, hanya berkeliling dengan jarak tak jauh untuk sekedar menghirup udara dari langit yang menjelang sore, hanya mengintip kegiatan bermain sepakbola yang menyenangkan itu.
Entah sudah berapa lama sampai bel pulang sekolah benar-benar berbunyi. Seokjin memacu tungkai untuk kembali ke kelas. Lalu dihadiahkan tatapan intimidari dari beberapa orang yang dilihatnya tengah frustrasi.
Kejadian apalagi hari ini?
"Berhenti mencuri Kim Seokjin! Kembalikan ponsel kami yang kau curi."
"Kembalikan dompetku, disana ada kartu debit milikku, mau hidup seperti apa aku jika itu hilang. Astaga, kau jahat sekali!"
Seokjin bingung, tentu saja, ini kali ketiga dirinya dituding sebagai pencuri. Entahlah, apa karena ada sesuatu yang hilang itu berarti merupakan ulah Seokjin? Tetapi seberapa keras dirinya untuk menyangkal entah mengapa seluruh bukti memang mengarah pada dirinya.
"Masih mau mengatakan bahwa kau bukan pencuri? Bukan kau yang mengambilnya?"
Lagi-lagi Jeno, tetap Jeno yang selalu membesar-besarkan masalah. Ia lelah, tidak berbuat apa-apa tetapi—entahlah, dirinya pun sama bingungnya. Seokjin hanya tidak mengerti dan malas mencari tahu.
"Terserah kalian, bongkar tas milikku, laci, atau loker. Bongkar lalu bawa barang kalian yang hilang. Aku bosan, pada akhirnya selalu begitu 'kan? Hilang, ada padaku, lalu kembali lagi pada kalian. Tidak ada yang perlu dicemaskan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Calamity
Fanfiction"Tetapi pada akhirnya semua orang pasti bersalah, bukan?" [On-Going] June, 2020 ☘ ©ieuaraz