4 | Lalu

5 2 2
                                    

Dua anak kecil yang berselang empat tahun sedang asik bermain di taman, kejar-kejaran. Kedua orang tuanya sudah mengingatkan agar bermain tak jauh dari tempat menunggu. Tapi kejadian tak terduga datang, anak kecil berkepang dua berumur lima tahun itu berlari kencang tertawa-tawa keluar dari taman. Si kakak mengejar. Sebuah mobil melaju kencang, seseorang yang membawanya sedang mabuk berat, mobil melaju tak tentu arah dengan kecepatan maksimal. Tanpa menengok ke kanan kiri, ia berhenti di tengah jalan, si kakak semakin panik. Ia berlari semakin kencang, anak kecil berkepang dua itu selamat. Sayang si kakak kritis, darah mengalir deras disekujur tubuhnya. Anak berkepang dua itu berlari ke taman, menangis.

"Bunda, abang berdarah," ucap si kepang dua sesegukan, bunda panik. Berlari meninggalkan ayah. Ayah mengejar.

Di tengah jalan sudah kumpul beberapa orang mencari pertolongan, perempuan yang dipanggil bunda berlari semakin kencang dengan si kecil yang berada di gendongan.

"Abang..." Bunda teriak begitu histeris, meminta pertolongan orang sekitar yang melihat. Selang beberapa menit, ambulan datang. Ada yang menghubungi rumah sakit setelah kejadian.

"Tolong selamatkan anak saya, tolong..." Bunda berseru-seru. Air matanya mengalir deras. Anak kecil berkepang dua menangis begitu kencang, walau masih kecil ia tau, hal itu terjadi karena kesalahannya.


Aku terbangun, air mataku basah di pipi. Kejadian beberapa tahun silam tergambar nyata. Aku masih ingat dan tak akan pernah lupa. Aku penyebab kepergian kakak, semenjak saat itu aku lebih banyak murung di kamar. Terlebih bunda, ia jarang sekali makan. Namun kehadiran Kessie mengubah segalanya, luka bunda sedikit demi sedikit terobati. Bunda tak pernah sedikitpun menyalahkanku, aku masih terlalu kecil.

Semenjak kepergian kakak, bunda memilih untuk meinggalkan Jogja. Terlalu banyak kenangan yang membekas membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan.

"Bun... tadi aku... eh gak jadi deh," Di meja makan aku memutuskan untuk menceritakannya pada bunda, namun urung kulakukan. Setelah dipikirkan lagi, nanti malah membuat bunda ingat dan sedih.

"Loh, gimana?" Bunda hersn dengan tingkahku, ia sedang mengolesi roti dengan selai stroberi.

"Gapapa bun, gajadi," Aku nyengir, menikmati selembar roti tanpa menggunakan apa-apa.

"Itu diolesi selai dulu, emang enak?" bunda geleng kepala melihat kelakuanku. Aku menggeleng, ini enak kok.

"Hayo, kakak mau bawa motor atau bareng ayah?" ayah muncul dari garasi, memanaskan motor. Aku berpikir, "Bawa motor aja apa ya?" Aku malah bertanya balik.

"Bareng ayah aja deh," ucapku kemudian. Aku bangkit, pamit dengan bunda. Kessie masih terlelap dalam mimpi, ia tidur larut semalam.

"Ini bekalnya jangan ditinggal dong," bunda memberikan kotak makan berwarna pink, aku mengambilnya lalu ke halaman.

"Yuk yah, legoooo!" Ayah pergi ke garasi, mengambil motor. Hari ini ayah tak ingin membawa mobil, macet katanya. Padahal hari ini dan kemarin sama aja, namanya juga Jakarta. Jarak rumahku ke sekolah cukup dekat, hanya sekitar 15 menit.


Sepanjang jalan, aku menceritakan pada ayah mimpi semalam.

"Yah, tadi aku mimpi ketemu abang," ucapku pelan. Ayah memelankan laju sepeda motornya.

"Mimpi apa tuh?"

"Abang kecelakaan, karena aku kan yah?" ayah menggeleng keras.

"Kata siapa?" ia memelankan lajur motornya, lalu berhenti di pinggir jalan.

"Kakak tau? kepergian abang murni kesalahan ayah dan bunda. Kenapa? Kami membiarkan kalian asik bermain tanpa diawasi, kami lalai kak." Aku menangis. Sudah jelas itu kesalahanku, tapi mengapa ayah bunda bilang begitu?

"Dan kamu tau kak, bunda selalu sedih mengingat kepergian abang. Mengapa? Bunda menyadari kegagalannya menjadi seorang ibu dalam merawat kalian berdua. Ayah juga bukan ayah yang baik kak. Tapi ayah selalu memendam kemarahan pada diri ayah. Kalo ayah ikut mendendam pada diri sendiri, siapa yang akan menguatkan bunda?" ayah menangis, tak kuasa menutupi kesedihannya sedari dulu. Ucapannya membuatku tersadar, mereka saling menguatkan sejak hari itu. Bedanya, bunda tak bisa menutupi segala kesedihannya, masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.

Sementara ayah selalu berusaha kuat menerima kenyataan.

"Tapi yah, andai..." omonganku terhenti, ayah menggeleng.

"Jangan pernah menyesali sesuatu yang pernah terjadi, yang pergi biarlah pergi, yang lalu biar jadi kenangan dan pelajaran." Ucap ayah kali ini dengan senyuman.

"Sudah yuk kita berangkat, nanti terlambat," lanjut ayah, ia kembali melajukan motornya.

Disepanjang perjalanan, berkali-kali aku mencerna ucapan ayah.

Kareenina [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang