"Sudah ke gereja hari ini?"
Taehyung berdeham menjawab pertanyaan sang ibu diseberang telepon, "ya, tentu. Aku tidak terlambat hari ini, Ibu tenang saja."
"Jangan lupa berdoa setiap harinya, sesibuk apapun kamu. Ibu juga mendoakanmu di sini."
"Heum, iya Ibu. Kita lanjutkan nanti ya Bu, aku harus segera bersiap pergi ke kampus."
"Iya, hati-hati Nak. Tuhan selalu memberkatimu."
Panggilan berakhir, setelah Ibu juga munutup teleponnya di seberang. Sejenak Taehyung menyentuh salib yang ia letakkan menggantung di dinding sebelah ranjang, bersebelahan langsung dengan Jendela. Meminta pemberkatan hari ini supaya lebih baik dari hari kemarin. Memohon agar dikuatkan hati dan pikiran, untuk menghadapi dunia yang terkadang suram.
Kebiasaan ajaran dari kedua orang tua, Taehyung bawa hingga dimana pun ia berada sekarang. Religiusme yang kental di lingkungan keluarga sedikit banyak membuat Taehyung mengerti arti sebuah meredam diri dari kemarahan. Mengolah keegoisan menjadi pemahaman, karena terkadang kesalahpahaman menimbulkan pertikaian.
Menganut paham kristen Katolik yang taat, Taehyung berusaha mengukuhkan diri agar tidak mudah jatuh hanya karena ulah sesama manusia. Belajar bangkit untuk dirinya yang limbung lantas memupuk asa setinggi langit. Tuhan tidak pelit pada umatnya yang berbudi baik.
Sementara menunggu Baekhyun keluar dari kamar mandi, Taehyung memastikan pekerjaannya luput dari kesalahan. Ujian sebentar lagi, para dosen akan memberikan bonus untuk tugas yang layak disebut penyiksaan karena tidak manusiawi sama sekali. Terima atau tidak mahasiswa harus tetap mengerjakan, kalau tidak mau mengulang di semester depan.Mungkin orang-orang jenius merasa senang dengan semua tugas ini, sebab nilai mereka akan bertambah.
Taehyung mencoba sebisanya, untuk hasil biarlah nanti diurus belakangan.
Dia bukan tipe manusia yang gila mengumpulkan nilai bagus, dengan pujian bertumpuk sampai hangus. Prinsipnya sederhana, tidak terlalu muluk."Mandilah, maaf terlalu lama," Baekhyun keluar bersamaan dengan laptop Taehyung yang sudah hilang daya sebab sengaja dimatikan. Ia bertelanjang dada, mengusak tubuhnya dengan handuk kemudian memakai perawatan tubuh, "hari ini aku harus mempresentasikan hasil temuanku sesuai teori yang dosenku tentukan. Aku jadi tidak percaya diri, semalam langsung tidur dan tidak mengulasnya lagi." katanya, sembari menata rambut dengan gel tanpa memperhatikan Taehyung; terlalu fokus dengan pantulan dirinya dalam cermin.
"Kau pandai mengolah kata Hyung, tidak percaya diri rasanya aneh kalau aku dengar dari mulutmu."
Baekhyun terkekeh, setelah pakaian di tubuhnya rapi,"aku jadi semangat lagi sekarang, beruntungnya aku sekamar denganmu."
"Jangan bilang begitu, kepalaku jadi besar nanti."
Taehyung masih duduk di atas ranjangnya, mengamati Baekhyun bersiap berangkat ke kampus. Jadwal kuliahnya hari ini cukup siang, tidak perlu tergesah. Sebenarnya dia tidak terlalu sibuk hari ini, hanya ingin sedikit menghindari percakapan ibu yang terkesan menceramahinya. Apakah dia termasuk anak durhaka saat beralibi begini?
Ibu sangat kental mendalami agama, tak pernah sekalipun lupa mengingatkan Taehyung untuk tetap dekat dengan sang pencipta. Padahal Taehyung tidak sereligius itu, ia tipe manusia standart.
Awal tahun ajaran baru, Taehyung diterima di kampusnya sekarang. Sudah pasti ia bahagia luar biasa, tanpa tahu ekspetasinya gagal terhempas realita. Sehingga memaksa tetap memenuhi panggilan kampusnya tersebut, di tengah ekonomi keluarga yang cukup rumit. Untuk hal yang satu ini, sang ibu tidak merelakan.
Namun, ayah tetap di sampingnya. Mendukung sepenuh hati, sampai motor kesayangan harus diperjual beli. Memang tidak seberapa hasilnya, akan tetapi cukup untuk mengurus administrasi. Hingga pada suatu hari, ayah dan ibu mengatarkan putra sulungnya tersebut mendaftar ke kampus pilihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jandi
FanfictionKim Taehyung hanyalah seorang mahasiswa biasa, yang sedang mencari jati dirinya. Dia tidak ingin hanya dipandang sebelah mata, namun dia sendiri tidak tahu tapal batas kemampuannya.