Hujan berhenti ketika matahari kembali kepelukan bumi, udara basah membaur menjadi satu dengan kesunyian sisa tetesan hujan. Taehyun baru keluar dari alam bawah sadarnya, menyadari bahwa ia masih di dalam gubug yang dipergunakan untuk menanam sayur di belakang rumah. Ia bangkit dari posisi merebah, duduk sekedar mengumpulkan sisa kesadaran. Hampir gelap sempurna ruangan yang dia tempati. Tertidur di atas bayang bambu yang kakeknya buat, hanya perkiraan Taehyun saja tentunya.
Masih ada noda tanah kecoklatan meraup kakinya yang bertelanjang, sandal selopnya entah pergi kemana. Menanam bibit sawi hijau pemberian paksaan dari nenek pemilik kedai kalguksu, perutnya jadi ribut ketika memikirkan makanan.
Taehyun beranjak dari duduknya, melupakan keberadaan sandal selop yang membersamai kakinya sejak pagi, ia segera masuk ke dalam rumah dengan bertelanjang kaki. Menyisakan jejak kaki kecoklatan di atas ubin kayu, tidak dibersihkan pun sepertinya tidak ada orang yang tahu jika jejak kakinya mengotori. Akan tetapi pastor Hans selalu mengajarkan bahwa menjaga kebersihan sama dengan membersihkan jiwa dan hati yang terluka. Tapi, pastor Hans tidak pernah tahu jika luka tidak pernah bisa dibersihkan, tetap membekas.
Menyala dengan sempurna lampu dari setiap sudut rumah tinggal mendiang sang ayah. Mengambil kain pel dan setengah ember air beserta pengharumnya, ia membersihkan lantai kotor akibat ulahnya sendiri. Dan menjadi kotor lagi karena ia lupa mencuci kaki. Terkekeh sebab kebodohan yang ia ciptakan, Taehyun mendadak ingat wajah ayahnya yang mengkerut marah ketika ia membuat salah. Kim Taehyung tidak bisa menjadi mengerikan di mata Taehyun, ayahnya yang berhati lembut namun bernasib buruk.
Ketukan pintu beruntun terdengar dari ujung rumah, ia hampir lupa lagi jika belum mencuci kaki. Kain pel yang sedaritadi dalam genggaman ia lempar ke dalam ember, secepat kilat mencuci kaki, lalu membuka pintu untuk menyudahi bunyi berisik yang berulang.
Kali ini bukan cucu nenek Kalguksu, dan Taehyun tidak mengenalnya juga. Mungkin orang aneh sejenis Jimin, atau mungkin sebaliknya.
"Ah,.. Eh, selamat malam. Aku, eh maksudnya saya Yeonjun, Choi Yeonjun. Anda Kim Taehyunkan? " Katanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Taehyun semakin menyimpan curiga, ingat perkataan Baekhyun tempo hari untuk berhati-hati terhadap Jimin. "Tidak, tidak, saya orang baik. Tuan Byun menyuruh saya kemari," Sambungnya lagi, mungkin ia sudah mendeteksi kecurigaan Taehyun padanya. "Bolehkah say_"
Engsel pintu berdebat keras ketika didorong paksa, Taehyun agak menyingkir dari bibir pintu. Masih membisu, memperhatikan gerak-gerik Yeonjun yang kikuk. "Baiklah, terimakasih sudah mempersilahkan masuk, hahaha... " Tertawa sumbang, sejujurnya Yeonjun sendiri tidak tahu sedang berbuat apa sekarang.
Seperkian detik dering telepon bergema diruang tengah, Taehyun berjalan ke arahnya, mengambil satu-satunya benda elektronik yang baru ia pahami cara pakainya. Pastor Hans tidak memberikan benda bernama ponsel padanya, dan Taehyun tidak akan meminta juga.
Terdengar suara Baekhyun dari benda tersebut, Taehyun mulai paham sekarang, apa guna manusia yang baru saja ia persilahkan masuk barusan.
"Semoga harimu menyenangkan nak... "
Seperti biasanya Baekhyun selalu mengatakan kalimat itu disetiap akhir percakapannya di telepon. Cukup menghibur hatinya yang sendu, andai saja ia terlahir menjadi putra Byun Baekhyun. Maka pasti tidak akan merasakan bagaimana kelaparan.
"Duduk saja." Kalimat pertama Taehyun yang Yeonjun dengar selain, ya, heum, baik. "yang aku punya hanya air, mau?" Sambung Taehyun lagi.
"Apa saja saya suka." Yeonjun segera mendekat ke pantry dapur, meletakkan tas yang sedaritadi ia gendong di punggung ke atas lantai, "karena kata tuan Byun kau lebih muda dariku, aku akan bicara banmal padamu ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jandi
FanfictionKim Taehyung hanyalah seorang mahasiswa biasa, yang sedang mencari jati dirinya. Dia tidak ingin hanya dipandang sebelah mata, namun dia sendiri tidak tahu tapal batas kemampuannya.