(4)

172 11 1
                                    

Entah berapa banyak nominal uang yang telah dikeluarkan Baekhyun hanya untuk merawat rumah tua ini, tidak ada yang bisa menyangka jika rumah ini kosong belasan tahun. Taehyun berjalan mendekat ke pagar kayu bercat putih gading, pintu pagar berdecit ketika pemuda itu mendorongnya, hanya desau angin terdengar. Kemudian seorang wanita paruh baya mendekatinya, memberikan gemerincing logam yang terikat menjadi satu.

"Itu adalah kunci dari rumah ini, ada lima kunci kecil, dan lima lain yang bentuknya berbeda. Lima kunci kecil itu untuk semua pintu di dalam rumah, yang lainnya untuk gudang, ruang bawah tanah, dan dua terakhir untuk kebun."

Taehyun mengangguk setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari wanita tersebut, lantas ia pergi meninggalkannya seorang diri. Taehyun menghela napas, ia sendiri tidak percaya akan berdiri di depan rumah tempat sang ayah lahir.

Suasana yang damai, tidak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya dulu. Rerumputan mengerubungi tanah halaman, tampak terawat dipotong teratur. Ada sebuah kursi goyang di bagian kiri teras, berwarna coklat tua menambah kesan jika rumah ini hampir lebih dari setengah abad.

Taehyun menancapkan kunci sesuai arahan dari wanita baya tadi, menampik perasaan yang disebut hampa. Sejak kecil, tidak sekalipun Taehyun tahu rupa kakek dan neneknya. Dia hanya tahu wajah mama dan ayah, lalu pastor Hans.

Harum rumah yang telah ditinggalkan lama menyambangi penghidu, Taehyun meletakkan tasnya di lantai kayu. Kakinya sedikit terkejut ketika menapak pada lantai yang kini menjadi alasnya. Baekhyun mengatakan, pekan depan rumah ini akan direnovasi. Taehyun berpikir untuk menolak rencana pria itu nanti.

"Ayah, kau sangat kesepian." Gumamnya pada udara, seolah mengajak bicara sukma Taehyung yang masih tertinggal di sana.

Lantas ia bawa langkahnya menuju setiap ruang di rumah itu, tidak ada perabot yang rusak semua masih layak dipergunakan. Taehyun jadi melihat, bahwa Baekhyun lebih pantas menjadi seorang ayah untuk ayahnya.

Mengambil satu pahatan berbentuk persegi di dalam lemari bufet, Taehyun mengusapnya dengan lembut. Seolah ia sedang menyentuh pipi dingin sang ayah. Dalam sanubari ia berbisik; ayah aku rindu. Akan tetapi dia telan kembali, dan memilih mendoakan agar nanti ayah datang memeluknya dalam mimpi.

Taehyun merebahkan diri, menghirup bayang Taehyung yang hampir pergi. Ayahnya pasti meringkuk dikasur ini, sehingga letih tubuhnya menguap saat seprei kuno menyapa permukaan kulit pucatnya. Terbuai dengan sejuk angin bertiup dari jendela terbuka, hampir Taehyun menutup mata terbuai kantuk yang menelisik netra.

Memilih bangkit dari pembaringan, Taehyun sedikitnya menemukan benda yang dua hari lalu ia berikan pada orang bernama Jimin. Action figure, segaris senyum ia buat di ujung bibir, melihat bagaimana semua benda itu sang ayah sembunyikan dalam kotak kayu layaknya harta karun.

Menutup kembali kotak tersebut, Taehyun membuka lemari pakaian sang ayah. Tidak terlalu banyak, tapi lebih banyak dari miliknya. Karena memang ia tidak berhak meminta beli baju pada pastor Hans, beliau sudah bersusah payah membesarkannya menggantikan ayah.

Berganti pakaian dari lemari, Taehyun menghirup aroma sabun pencuci pakaian, bukan bau apek dari lemari yang sudah jarang dijamah. Kaos hitam, berlengan panjang peninggalan Taehyung, Taehyun pakai dengan bangga.

JANDI•

"Ajak dia masuk kemari," Seorang pemuda berdecak pada wanita tua yang memberi ia perintah, meskipun dalam hati mendamaikan ia tetap melaksanakan.

"Taehyung." Katanya, sontak memeluk tubuh ringkih Taehyun yang membuat bocah itu mendelik terkejut.

Meminta lepaskan dari pelukan, Taehyun bingung harus berkata apa, ia masih bingung dengan bahasa tanah kelahiran sang ayah, jadi Taehyun bicara semampu perkataan, "aku Taehyun, bukan Taehyung. Tapi, aku memang anak Taehyung."

JandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang