Safna menjatuhkan pantatnya ke tanah, lalu meletakkan keranjang jualan disampingnya. Mengelap keringat yang sejak tadi mengalir membasahi kening.
Safna tatapi dagangannya yang masih utuh, menghela nafas kemudian. Lelah, serta panas terik membuat Safna memilih untuk istirahat. Mengibaskan kotak kecil berharap mampu mengurangi rasa panas itu. Tapi saat Safna berhenti, udara malah makin terasa panas.
Safna mendesah. Mendongak menantang matahari. Tak peduli jika cahaya itu menyilaukan bahkan membuat matanya terasa perih. Namun sebuah tangan menghalangi membuat kening Safna berkerut. Air mata Safna mengalir begitu matanya berkedip. Itu sebab Safna memaksa matanya menatap cahaya menyilaukan.
Safna menoleh perlahan. Memandang dari mana tangan itu berasal. Lantas mendapati seorang wanita tersenyum padanya.
"Jangan ditantang... nanti mata kamu sakit." Wanita itu memperingati.
Safna diam saja. Mendongak menatap wanita itu. Wanita itu lantas jongkok, melepas alas kakinya lalu duduk di samping Safna yang tengah duduk tanpa alas di tanah. Safna tentu bingung. Ia sama sekali tidak mengenal bahkan belum pernah melihat wanita itu. Tapi wanita itu, berkelakuan selayaknya orang yang sudah lama kenal.
Wanita itu mengulurkan sebotol air mineral pada Safna.
"Buat kamu," ucap wanita itu karna Safna terus saja memandangnya. Membiarkan tangan itu terus menggantung.
"Ambil," ucapnya lagi. Namun Safna tetap saja diam menatap sebotol air ditangan wanita itu. Terlalu lama berpikir, wanita itu langsung menyerahkan pada Safna.
"Kamu jualan apa?" tanya wanita itu menatap keranjang jualan Safna.
"Gorengan," jawab Safna.
"Boleh lihat?"
Safna mengangguk, lalu membuka penutup jualannya yang memperlihatkan beragam macam gorengan, dari mulai pisang goreng, bakwan, tahu isi, bakso tusuk, dan masih banyak lagi yang lainnya.
"Berapaan?" tanya wanita itu, tangannya terulur mengambil tahu isi dari dalam keranjang. "Eh, ini nggak papa aku ambil sendiri?"
Safna tersenyum kecil. "Nggak papa."
"Enak," puji wanita itu sembari menikmati gorengannya. Safna tersenyum lebar karna pujian itu. "Kamu yang buat?"
Safna mengangguk tampak ragu.
"Ih, pinter ya kamu... Kalau aku bisanya cuma makan doang," ucap wanita itu merendah. "Nama kamu siapa?"
Safna diam sesaat. "Safna," jawabnya.
Sejak tadi Safna merasa canggung dengan wanita itu. Sebab wanita itu selain ramah, juga sangat pandai menyesuaikan diri. Berbeda dengan Safna. Selain pendiam, yang Safna tau hanya bekerja. Tidak ada waktu untuk Safna menyesuaikan diri dengan orang lain. Jika Safna melakukannya, tentu untuk memperlancar pekerjaannya.
"Aku Hanum." Wanita itu menyebutkan namanya. Safna tersenyum saja. "Kamu keliatannya masih muda. Umur kamu berapa?"
"24 tahun."
Hanum mengangguk saja. Sebenarnya Hanum ingin bertanya lebih pada Safna. Tapi takut jika gadis itu berpikir yang bukan-bukan, mengingat mereka baru saja berkenalan beberapa menit yang lalu.
"Bungkusin semuanya, ya. Aku mau makan di perjalanan nanti."
Safna tercengang. "Se-semua, Mbak?" tanyanya ragu. Bisa saja Hanum hanya mempermainkannya. Tapi sepertinya wanita itu tidak main-main saat mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan.
"Cuma 85ribu, Mbak. Uangnya kebanyakan," ucap Safna.
"Nggak papa. Anggap aja uang tip buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua (Selesai)
RomanceIni cerita pertamaku. Kamu bisa baca cerita-cerita yang lainnya juga, loh^^ _________________________ Bagaimana perasaanmu saat wanita lain memintamu untuk menjadi madunya, melahirkan anak keturunan suaminya saat kamu ternyata tak begitu kenal denga...