Delapan Belas

8.4K 408 11
                                    

Satu hari, sebelum pertemuan.

Hanum melempar senyum saat Fatih membuka pintu mobil untuknya. Fatih balas tersenyum saat Hanum mengucapkan terima kasih padanya.

Hanum menyamankan posisi saat Fatih berputar kearah pintu pengemudi. Beberapa menit menunggu, Fatih tak juga masuk padahal pintu mobil sudah pria itu buka. Hanum memperhatikan Fatih, pandangan pria itu lurus ke depan menatap kejauhan. Entah apa yang sedang pria itu perhatikan.

"Kenapa, Mas?"

Satu pertanyaan Hanum lontarkan, namun Fatih tak bergeming. Untuk beberapa saat Hanum memperhatikan Fatih, lalu mengikuti arah pandang pria itu. Tapi sayangnya, tak ada yang menarik untuk dilihat oleh matanya, hanya deretan mobil yang tersusun rapi dan sepasang kekasih. Kekasih? Apakah yang sedang Fatih pandangi saat ini adalah sepasang kekasih itu? Siapa mereka hingga Fatih tak berkutik saat Hanum bertanya padanya. Apakah wanita yang sedang bergandengan itu dulu mantan pacar Fatih?

"Bentar, sayang."

Hanya dua kata yang Fatih ucapkan dan sekarang Fatih sudah berlari menjauhi mobil dan mengarah pada sepasang kekasih itu, tanpa sempat Hanum berkata apa-apa.

"Danu!"

Hanum tersentak, darahnya berdesir hingga detak jantungnya tak beraturan saat Fatih menyerukan nama 'Danu'. Hanya satu kata, tapi mampu mengembalikan bayangan tentang Danu dalam ingatannya. Hanum yakin betul kalau selama ini ia sudah benar-benar melupakan Danu. Tapi mengapa sekarang seakan berbeda, seakan masih ada Danu dihatinya yang tak ia ketahui keberadaannya.

Hanum menghela nafas panjang, lalu pandangannya beralih kearah perginya Fatih. Pria itu tampak tengah bercakap-cakap dengan dua orang itu. Untuk beberapa saat, Hanum teringat akan Safna.

"Safna, apa kabar sekarang ya? Mereka sehat-sehat ajakan? Azam... dia pasti sudah besar sekarang." Hanum mendesah. "Jadi kangen." Lirihnya.

Hanum mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Memperhatikan deretan nomor Safna didalamnya. Rasa hatinya ingin menghubungi dan bertanya bagaimana kabar mereka. Bukannya tak tau, selama ini Hanum tau bagaimana kabar mereka walau ia ketahui dari mulut Mamanya.

Setiap saat, selesai Safna menghubungi Mama Hanum, Mamanya pasti akan menghubunginya, mengatakan kalau Safna lagi-lagi menanyakan bagaimana kabarnya.

"Safna nelpon Mama lagi, nanyain kabar kamu dia... kamu belum ngabarin dia?"

"Belum."

"Kamu udah punya nomornya, kenapa gak ditelpon aja... tentang pernikahan kamu juga, kenapa suruh Mama buat nutupin."

"Iya, Ma... nanti Hanum telpon sekalian cerita tentang pernikahan Hanum. Tapi gak sekarang."

"Jadi kapan lagi?"

"Nanti, Ma... Hanum masih cari waktu yang tepat." Hanya helaan nafas yang terdengar ditelinga Hanum. "Safna cuma nanyain kabar Hanum aja? Gak ada yang lain?"

"Iya, cuma kabar... setelah itu Mama sama dia cerita yang lain."

Hanum bergumam. "Gak ada minta nomor ponsel Hanum?"

"Enggak. Mama pernah nawarin, tapi katanya gak usah. Dia takut kalau punya nomor kamu bakalan sering ganggu kamu, buat kamu gak konsen kerja."

"Uhm... lalu kabar Safna dan Azam, ba--"

"Kalau kamu penasaran sekali dengan keadaan mereka, kenapa gak dihubungi aja sih, Han?!"

"Iya, Ma, nanti."

Istri Kedua (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang