Sembilan

10.1K 493 1
                                    

Safna menoleh begitu pintu ruangan yang saat ini ia tempati terbuka. Tersentak mendapati pria yang saat ini masuk bukanlah Danu, melainkan sosok dari masa lalu yang dengan susah payah Safna lupakan.

"Rusli," bisik Safna pada diri sendiri.

Mendapati Rusli berjalan menghampiri, tak sedikit pun pandangan Safna teralihkan darinya, hanya menatap tajam. Tanda tak suka. Namun bukannya gentar. Rusli malah melempar senyum. Sejak awal tau jika kedatangannya akan mendapat sambutan demikian. Tak berniat membalas, Safna membuang wajah menatap keluar jendela.

Safna mendengar decitan kursi ditarik. Sepertinya Rusli tengah menarik kursi untuk ia duduki, dan semakin yakin begitu mendengar helaan nafas tepat di sampingnya.

Menghela nafas. Safna lantas menoleh. Masih tajam menatap Rusli. Kembali Rusli tersenyum, memperlihatkan deretan giginya. Safna muak, kembali membuang muka. Hingga beberapa saat keduanya hanya diam. Tidak ada yang ingin Safna bicarakan dengan pria disampingnya itu. Bahkan kehadirannya pria itu sama sekali tidak Safna harapkan.

Safna mendengar helaan nafas Rusli, terdengar diatur. Safna yakin jika pria itu ingin memulai percakapan, dan kembali dibenarkan saat suaranya terdengar.

"Anak kamu cantik. Padahal dia laki-laki ya," ucap Rusli, tertawa sumbang begitu selesai mengucapkannya. Entah karna bingung akan berkata apa, atau karna mata Safna yang kini menatap tajam padanya. "Dia terlalu tampan untuk ukuran anak laki-laki. Itu sebabnya aku katakan dia cantik."

Safna memutar bola mata, kembali membuang muka. Apa pun alasannya, Safna tak sekali pun ingin melihat pria itu. Terlebih lagi mendengar suaranya, membuat Safna teringat kembali akan kejadian dimasa lalu.

"Aku lihat sendiri tadi. Itu sebabnya aku tau," jelas Rusli lagi. Padahal Safna tidak bertanya apapun padanya.

"Kamu tau dari siapa aku di sini?" tanya Safna, dingin.

Rusli tersenyum. "Aku kangen kamu," ucapnya, pelan. Bukan itu jawaban yang Safna inginkan.

"Kenapa kamu ada di sini?" Safna mengubah pertanyaannya. Masih menatap dingin pria itu.

"Aku kangen kamu."

Safna menatap tajam Rusli dalam diam. Dua pertanyaan berbeda, mendapatkan dua jawaban yang sama.

"Pergi!" usir Safna.

"Ha?" Rusli melongo.

"Pergi!" ulang Safna. "Aku sudah mengizinkanmu melihatku sebentar."

"Kamu ngusir aku?" tanya Rusli tak percaya. Safna yang ia ketahui bukanlah wanita dingin seperti ini. Meskipun begitu, Rusli coba tersenyum." Kamu tega ngusir tamu?"

"Tamu tidak diundang." Safna berucap lantang. "Lagi pula kehadiran kamu sama sekali nggak diharapkan."

Pria itu mendesah. "Aku cuma kangen, Na."

"Sayangnya aku enggak." Cepat Safna berucap. "Pergi!"

Rusli bungkam. Menatap Safna dengan perasaan kecewa. Kesedihan tampak jelas disana. Rusli mampu menepis rasa sakit itu begitu kehadirannya tidak diterima oleh Safna. Paham jika wanita itu pasti terluka karenanya, dulu. Mungkin juga sampai sekarang. Tapi Rusli tidak lagi mampu menutupi kesedihannya begitu Safna terus-menerus mengusirnya. Memintanya untuk segera pergi.

Rusli berdehem, mengalihkan pandangan begitu Hanum masuk.

"Siapa yang ngizinin dia datang ke sini, Mbak?" tanya Safna menatap Hanum, menuntut penjelasan.

"Izinkan saya di sini sebentar lagi, Mbak," pinta Rusli saat tatapan Safna tampak memohon pertolongan pada Hanum.

Bingung, itu yang saat ini Hanum rasakan. Kehadiran Rusli jelas membuat Safna tidak nyaman. Tapi sepertinya ada sesuatu hal yang ingin pria itu sampaikan. Haruskah Hanum memberinya izin bersama Safna sebentar lagi?

Istri Kedua (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang