1

67 3 1
                                    


     Awan hitam menggumpal diatas reruntuhan gedung-gedung, menutupi cahaya matahari. Suasana kota begitu sunyi juga auranya yang mencekam, seakan tak ada kehidupan sama sekali didalamnya.

     DUASS..DUASS.. 

     Dua bom asap tiba-tiba meledak, memecah kesunyian ditengah jalanan kota yang hancur. Suara tembakan laser dan cahaya ungu bersahutan dari dalam asap putih yang mengepul.

     "Ren kau mendengar ku?" napas orang itu menderu, keringatnya bercucuran. Tangan kirinya menekan tombol perangkat yang ada di telinganya. Ia bersembunyi di balik mobil yang terguling di tengah jalanan kota yang hancur. Peluru laser tak henti-henti menghujani. Asap putih membuatnya tak bisa melihat siapa yang menembaknya. Setengah menit berlalu setelah ia mencoba menghubungi temannya, masih tak ada jawaban. "Argh.. Ayolah!!"

     "Sudah kubilang jangan nama asli," suara laki-laki terdengar dari perangkat komunikasi, nadanya terlampau santai. Ia Ren laki-laki dengan kupluk hitam yang menutupi sebagian rambut birunya, dengan santainya duduk bersila sambil bersembunyi diatas gedung. Kedua tangannya memegang senapan railgun panjang, mengarahkannya kebawah. Asap putih yang mengepul, menutupi jalanan terlihat jelas dari atas sana. "Dengan nada ketakutan seperti itu kamu membuat game ini lebih terasa nyata, Xander." Ucap Ren, sambil tersenyum. Nadanya yang terlampau santai tak berubah sama sekali.

     "Aghh.. Jawabanmu sangat telat sekali bodoh," keluh Xander, "lagian game ini terlalu nyata, bahkan lukanya terasa sakit." Peluru laser masih belum berhenti menghujaninya, banyak sobekan yang terlihat pada baju tentara hijaunya, juga beberapa luka gosong di lengannya. Hanya masalah waktu sebelum peluru-peluru itu menembus pertahanannya. Pandangannya tertutupi asap putih.

     "Lelaki macam apa yang takut rasa sakit," ucap Ren. Ia masih sibuk mencari sumber peluru-peluru dengan scope yang ada di railgunnya. Asap putih menutupi target, suara peluru laser masih terdengar jelas. Tiba-tiba sesuatu muncul; makhluk berwarna hitam. "Ok, musuh terakhir terdeteksi kawan." Ucap Ren. Ia mulai serius, ia menekuk lutut kanannya. Mengarahkan railgunnya ke makhluk hitam dibalik asap putih.

     "Bagus, selesaikan dengan cepat, ambil item, lalu kembali ke lobby." Xander menghembuskan napas, nadanya lebih tenang dari sebelumnya.

     Mata Ren fokus tertuju ke scope yang terpasang pada railgunnya, menempatkan senapan railgun panjangnya disebelah pipi. Menunggu saat yang tepat untuk menarik pelatuk. "Mati." Ren menarik pelatuk, peluru railgun terlontar bersamaan dengan ucapannya. Suaranya menggelegar membuat peling telinga.

     Tak sampai sedetik, peluru itu sudah menembus target. Suara peluru laser juga sinar ungu serentak hilang bersamaan dengan asap putih yang tiba-tiba pudar. Jalanan yang hancur sudah terlihat jelas dari atas, juga Xander yang masih berada di balik mobil yang terguling, peluru-peluru laser tadi seakan menggerogoti sebagian mobil yang terguling itu. Makhluk hitam mati tergeletak tak jauh dari tempat Xander.

     "Ok, makhluk itu mati Xander, aku menuju kesana." Ren berdiri, terus berlari menuju bawah. Tangannya masih memegang railgun.

     Ren berlari mendekati makhluk hitam itu. Xander sudah sampai lebih dulu, ia sibuk memperhatikan layar hologram di depannya, sambil mengelus-ngelus dagunya.

      "Oi, oi jangan seenaknya mengambil item duluan tanpa seizinku," tiba-tiba Ren telah berdiri di samping Xander. Ketika bersisian, badannya terlihat lebih pendek dari Xander. 

      "Ha?" Xander tak peduli. Ia masih sibuk dengan layar hologram di depannya.

      "Cih, padahal tadi ia memanggil-manggilku seperti gadis kecil ketakutan," gumam Ren. Kesal.

      "Apa?" Xander tak mendengar dengan jelas gumaman Ren.

      "Tidak, aku tidak mengatakan apapun," Ren mengelak, menarik kembali ucapannya tadi, "predator ini kuat juga." Ucap Ren. Ia membungkukkan badan, memerhatikan kepala lonjong alien predator yang hitam itu.

      Mulutnya tebuka lebar terlihat jelas deretan gigi tajam yang berlumuran darah hijau, tak terlihat dimana matanya. Sepertinya peluru railgun itu mengenai bagian samping kepala makhluk itu lalu menembus bagian samping yang lainnya, menciptakan lubang yang berlumuran darah alien hijau. 

      "Hey Ren, kau tak mau itemnya?" Tanya Xander.

      Ren melambaikan tangan, membuka panel hologram, "hmm, kurasa tidak usah. Lagian ini ketiga kalinya aku membunuh predator, aku rasa item yang kudapat sudah cukup," Ucap Ren sambil memeriksa item-item pada predator yang tertera pada panel hologram, "selagi aku masih mengaktifkan mode dermawan ini, jadi ambilah." Ucap Ren. Mencoba berlagak sombong, sambil memasang senyuman angkuhnya.

     "Oke-oke, baguslah kalau begitu." Ucap Xander. Tersenyum.

     "Tunggu, jam berapa ini?" Ren membuat lingkaran pada lengan kirinya dengan jari telunjuknya. Muncul gelang hologram yang melingkar pada lengan kirinya, menunjukan waktu 15:13, "Gawat!!" Ren mendadak kaget ketika melihat jam hologram pada lengan kirinya, mukanya yang biasanya santai terlihat panik, "Xander aku harus log-out," tangan Ren cekatan membentuk garis lurus menggores udara, muncul beberapa icon, Telunjuknya cekatan menyentuh salah satu icon yang muncul. Tiba-tiba tubuhnya melebur, bersamaan ketika ia menyentuh icon hologram tadi. Ren menghilang meninggalkan Xander yang masih sibuk dengan panel hologram dan mayat predator di depannya.

     "Eh?" Xander menengok ke sebelahnya, Ren sudah tidak ada, "dasar, padahal aku ingin berterima kasih tadi." Xander menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Terus melambaikan tangan, menutup panel hologram di depannya.


IMPRISONEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang