"Silahkan gunakan tangga tuan," suara program itu menggema di telinga Ren. Raut wajah Ren masam, kaos biru yang dipakainya terlihat lusuh, ditambah rambut hitamnya yang acak-acakan membuat penampilannya di dunia nyata jauh dari kata rapih.
Di depannya sebuah lift, berbentuk lonjong-lebih mirip capsul-, terbuat dari kaca tebal, pintunya yang transparan tertutup tak mau terbuka. Sejak tadi Ren sibuk menekan-nekan satu icon pada layar hologram di sebelah lift untuk mengaksesnya, sudah 3 kali suara program itu menyuruhnya menggunakan tangga, berkali-kali pula jari telunjuknya menyentuh-nyentuh icon itu. Tetap saja usahanya nihil, pintu lift transparan itu sama sekali tidak bergerak.
"Agh.. Sudah ada lift kenapa harus pakai tangga?" Tanya Ren, geram. Wajahnya terlihat kesal.
"Ini perintah nona Rey tuan," suara program itu menjawab, "ia berpesan kepada saya untuk melarang anda untuk mengakses lift," lanjutnya.
"Ayolah Evelyn, aku harus segera pergi ketempat latihan sekarang juga, aku sudah sangat terlambat." Pinta Ren kepada Evelyn,-kecerdasan buatan yang sejak tadi menyuruhnya menggunakan tangga-.
"Kuulang sekali lagi tuan, silahkan gunakan tangga."
"Ahh.. Baiklah," ucap Ren dengan nada kesal, akhirnya ia menyerah, memilih setuju untuk menggunakan tangga. Ia beranjak pergi meninggalkan lift itu, berjalan dengan langkah goyah, menuju tangga yang letaknya tak jauh dari lift.
Ren melangkah menuruni tangga. Langkahnya berderap pelan saat menapaki anak tangga kayu berwarna hitam. Tanpa pegangan tangga itu terlihat artistik. Lantai satu rumah Ren terlihat saat menuruninya. Serasi dengan tangga kayu hitam itu, lantai satu rumah Ren terlihat sangat modern dan artistik cahaya sore merambat masuk melalui tirai yang terbuka menerangi sebagian lantai satu rumah besar keluarga Ren, Keluarga Gerhana.
"Ah.. badanku lemas sekali, entah apa nanti komentar kak Rey saat latihan." Gumam Ren pelan. Ia masih menuruni anak tangga satu persatu. Mukanya tetap masam, bola matanya yang hitam menatap datar kedepan, tidak memperhatikan langkahnya.
GUBRAK
Belum setengah Ren menuruni tangga, ia sudah sampai di bawah duluan. Tentunya dengan cara cepat, terpeleset kemudian berguling kebawah. Akhirnya di lantai satu, Punggungnya menabrak tembok pualam.
"Anda mencetak rekor tuan, belum sepuluh menit anda sudah terjatuh 3 kali. Pukul 15.15 anda terjatuh dari kasur setelah selesai bermain game itu, 15.17 anda terpeleset karena tergesa-gesa menuju lift Kemudian an.."
"Cukup Evelyn," Ren memotong ocehan bernada datar Kecerdasan Buatan itu "Sejak kapan kamu bisa mengejekku seperti itu?" Tanya Ren sambil meringis kesakitan. Ia mencoba berdiri, Punggungnya terasa sakit.
"Nona Rey yang menyarankan itu kepada saya tuan, dengan alasan agar lebih manusiawi, sekaligus mendata konsisi tubuh anda tuan."
"Sial, liat saja nanti." Ren menggerutu. Ia sudah berdiri, tangan kanannya menepuk-nepuk punggungnya, juga sedikit merapihkan kaos birunya yang bertambah acak-acakan. Ia menghadap ke tembok putih pualam yang dihantam punggungnya tadi.
"Evelyn, buka akses menuju tempat latihan."
Spontan, kotak hologram berisi angka 0-9 muncul di tembok pualam putih itu.
"Kodenya tuan." Ucap Evelyn.
Tangan Ren tergerak, kelima jari tangan kanannya cekatan mengetik. Tak lama, tembok putih pualam itu berdesis pelan, kemudian perlahan membuka kesamping. Tembok putih pualam itu seketika menjadi lorong setinggi orang dewasa. Tangga berwarna silver terlihat dari luar lorong, lampu-lampu bercahaya kuning menerangi bagian dalam lorong yang sepenuhnya berwarna silver.
Ren melangkah memasuki lorong. Ketika sempurna semua tubuhnya masuk, tembok pualam itu kembali tertutup, kembali menjadi tembok putih pualam, tidak terlihat celah sedikitpun.
Ren kembali menyusuri anak tangga satu persatu, kali ini lebih berhati-hati. Lorong dengan lebar 1 setengah meter itu sepenuhnya terbuat dari baja termasuk tangganya. Tak lama, ia sampai di sebuah ruangan, tak luas hanya 2x3 meter memanjang kedepan. Ren terus berjalan menuju pintu baja di ujung ruangan. Menekan beberapa digit angka pada layar kotak di sebelah pintu baja.
Pintu baja berdesis, membuka kekanan kemudian menutup kembali setelah Ren melangkahinya, beralih keruangan lain yang lebih luas. Ren menatap ruangan itu, teringat hari-hari ia dilatih oleh ayahnya di ruangan bertembok baja mengkilap itu, teringat pesan ayahnya yang pergi 1 bulan lalu.
Saat itu sore hari yang hangat, di depan rumah Ren. Ayah Ren yang sudah berdiri di samping pintu kendaraan putih yang mengambang di atas aspal, berpamitan kepada istrinya, kedua putrinya. Ren hanya berdiri di pintu rumah, wajahnya masam, tatapan Ren tertuju kepada ayahnya yang sedang tersenyum melihat adiknya menahan tangis, lalu tatapan ayah Ren berpindah kepada wajah masam Ren, tatapan mereka saling beradu sampai Ren memalingkan wajah masamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPRISONED
Science FictionBumi, 20xx Ketika manusia menciptakan teknologi untuk menembus batasan ketidakmungkinan, munculah ketidakmungkinan yang lain. Adalah sifat tak pernah puas yang memunculkannya. Hari itu, ketika teknologi hampir tak dapat dibedakan dengan sihir. Manu...