Di sepanjang jalanan, sebuah kendaraan sejenis motor trail, melaju begitu cepat. Dikemudikan dengan lihainya oleh seorang remaja yang masih berlapis seragam putih abu-abu, serta kepalanya yang ditutupi helm full face yang bercorak.
Dia Andromeda. Nama yang diambil dari sebuah Galaksi. Remaja belasan tahun berpostur tubuh tinggi tegap yang hidup bersama 2 orang wanita. Ibu dan kakaknya.
Kali ini, dia harus cepat pulang karena sebuah perintah dari sang kakak. Dia menurut, sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar menghormati wanitanya itu.
Kurang lebih 15 menit menaungi jalanan panjang, dia sampai di rumah besarnya. Hunian yang akan dia tinggalkan dalam beberapa waktu dekat ini.
Dia masuk ke dalam rumah, setelah memarkirkan kendaraan kesayangannya tak jauh dari halaman.
Melepas sepatu kanvasnya dan segera berlari menuju pintu bercat warna abu gelap.
Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam, dia melihat sang kakak tengah melipat pakaian yang disimpan pada tas besar.
Di sekeliling ruangan, begitu banyak karung-karung besar yang sebagiannya siap untuk diangkut dan sebagian lagi diberikan kepada tetangga yang membutuhkan.
"Kak!" Panggilnya seraya mendekati wanita berkulit putih yang berbalut kerudung biru itu.
"Ayo! Cepat. Bereskan segala barang yang akan kamu bawa. Kata ibu, pindahnya nanti sore, bukan besok."
Belum sempat berbicara, sang kakak yang bernama Andini, langsung menyambar.Andromeda terkejut mendengar ucapan itu. Pernyataan yang keluar dari mulut sang kakak, bertentangan dengan pemikirannya yang beberapa waktu ini mencokol di kepala.
"Bukannya besok, kak, pindahnya? Kok malah dipercepat, sih!" Protesnya. Seakan tak terima dengan keputusan yang mendadak seperti ini.
"Sudah! Jangan banyak komentar, turuti saja."
"Bukan begitu, kak. Tapi aku belum mengadakan acara perpisahan dengan temanku. Lalu, sekolahku, bagaimana?"
"Aku sudah membicarakan perihal kepindahanmu kepada wali kelasmu, tadi pagi."
Andromeda terdiam.
"Barusan kamu habis kumpul sama temanmu, 'kan?" tanya Andini penuh selidik.
Andromeda menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan.
"Baguslah. Jadikan kumpulan tadi, sebagai tanda perpisahan kamu sama para temanmu, itu."
Adromeda mendengus pasrah. Dia tak berani melawan saudaranya yang berprofesi sebagai guru itu. Mau tak mau, dia harus menuruti sang kakak. Mau protes seperti apa pun dalam keadaan seperti ini, hal itu tak akan bisa mengubah keputusan.
Secepat kilat, dia menghilang dan berada di kamarnya.
Dia membereskan segala barang yang akan dia bawa ke rumah barunya yang terletak di kota kembang, Bandung. Saat pertama kali diajak untuk pindah rumah, dia sempat menolak secara kuat. Tetapi, setelah dijejal oleh beberapa alasan, hatinya luluh juga. Walaupun, ada segelintir rasa tak rela yang menggelayut di dada.
Berada di kamar, Andromeda meraih beberapa buku pelajaran yang akan dia kemas. Lelaki yang memiliki kaki panjang itu, menumpuk beberapa buku dan memasukkannya pada kantong plastik.
Setengah hati, dia melakukan aktivitas itu karena kepindahannya yang dipercepat. Tadinya, dia ingin mengadakan perkumpulan sebagai acara perpisahan dengan para temannya di kedai kopi yang biasa dikunjungi beramai-ramai. Namun, hal itu tak bisa dilakukan karena waktunya pun tak akan cukup.
Perlahan tapi pasti, Andromeda hampir selesai membereskan buku-bukunya. Ketika menumpuk buku terakhir, tak sengaja dia menemukan secarik foto dirinya ketika masih kecil tengah digendong oleh sang ayah yang sekarang telah tiada.
Dia ditinggal oleh lelaki tercintanya itu, ketika duduk di kelas 6 SD. Waktu itu, dia telah merasakan sakit hati ketika ditinggal orang tercinta. Dia menangis bersama Ibu dan kakaknya ketika melihat jasad Ayah, tertutup kain.
Seketika kenangan yang pernah tergores bersama Ayah, menyergap pikirannya. Membuat dirinya ingin menumpahkan butiran bening dari mata yang terus menerobos ingin keluar.
Ketika sebuah keinginan untuk menjadi pilot sering menjadi topik pembicaraan saat berkumpul. Sang Ayah adalah orang yang pertama kali menyetujui perihal cita-citanya itu, ketimbang ibu dan kakaknya yang hanya terdiam tanpa kata. Sampai sekarang, keinginannya itu masih tetap sama.
Andromeda masih tertegun. Dia menghapus air mata yang tanpa sadar, terjun menelusuri pipinya. Lelaki tak boleh cengeng, pikirnya.
Dia masih menatap foto yang dipegang oleh tangan kirinya. Tanpa sadar, sang ibu memerhatikan di ambang pintu dan perlahan menghampiri. Hal itu, membuatnya sedikit terkejut.
Buru-buru dia simpan foto itu, bersama beberapa tumpukan buku.
"Kamu harus menjadi orang yang sukses. Kamu mau 'kan? Ayah tersenyum di sana?" tanya sang ibu. Suaranya terdengar oleh telinga kanan.
Dia menatap sekilas wanita yang telah melahirkannya itu dengan uraian air mata.
"Ibu tak punya cara lain, selain jual rumah ini. Setengahnya, akan ibu tabung untuk biaya sekolah dan kuliah kamu. Ibu harap kamu bisa memanfaatkannya, ya?"
Andromeda masih membatu. Dia sulit berkata-kata melihat sang ibu berbicara dengan tetesan air mata.
Dia bisa mengerti dengan keadaan ibunya saat ini. Tanpa instruksi, dia memeluk ibunya untuk menenangkan.***
*CATATAN PENULIS*
Teman-teman boleh tinggalkn jejak, dengan vote, koment, dan krisar.
Terima kasih
Hihi
Aku tenggelam dulu yahhh
Bye!!
![](https://img.wattpad.com/cover/226596225-288-k775937.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Juni Untuk Andromeda
JugendliteraturAndini menyiapkan bulan Juni untuk adiknya, Andromeda. Tetapi ketika perjuangan itu akan mencapai garis finish, malah menimbulkan sebuah tangisan sakit hati. Andini marah dan tak terima terhadap tingkah laku adiknya. Akankah Juni yang disiapkannya s...