3. Tetangga

140 24 5
                                    


Pagi hari Ratna ditemui perempuan berkerudung tipis yang dibilang adalah tetangganya.

"Kenalin nama saya Yani. Panggil aja teh Yani. Meuni senang saya teh, gaduh tetangga baru."

Ucapnya yang semalam belum sempat berkenalan. Seorang perempuan berparas ayu dengan logat sunda-nya yang kental. Ternyata seseorang yang semalam mengetuk pintu untuk memberikan beberapa lembar kertas dari Pak RT, adalah Teh Yani. Istri dari Pak RT, juga.

"Saya Ratna. Iya saya pun senang bisa mengenal Teh Yani." Balas Ratna dengan senyumnya.

"Maaf semalam belum sempat bertukar nama, ya?" jelasnya dengan senyum yang tak pernah pudar.

"Ibu asalnya dari mana?" tanyanya lagi.

"Saya dari Jakarta."

"Oh, kenapa bisa beli rumah di sini? Kan Jakarta ibu kota, pasti seru tinggal di sana."

Ratna terdiam. Dia tak mungkin menceritakan langsung alasan dia dan kedua anaknya pindah. Walaupun orang di hadapannya adalah istri dari pemimpin sebut saja ketua RT, tapi dia tahan dulu.

"Ada alasan tertentu yang enggak bisa saya jelaskan."

Mendengar Jawaban terakhir itu, Teh Yani terdiam. Seperti ada hal yang dia pikirkan.

"Oh, Iya kalau begitu mah, iya saya ngerti."

Perempuan berbadan sedikit gemuk itu mengasongkan sebuah mangkuk berbentuk kotak berukuran cukup besar, "ini dari saya, gorengan. Kebetulan, saya teh jualan gorengan di daerah Monju."

Mangkuk berwarna bening itu pun berpindah tangan.

"Oh, terima kasih, ya. Jadi merepotkan. Teh Yani jualan di sana? Sejak kapan?" tanya Ratna penasaran.

"Sudah lama. Sejak nikah sama Ayahnya anak-anak. Kalau misal Ibu ingin gabung, bisa kok. Lumayan buat menambah biaya keperluan rumah tangga."

Mendengar ucapan itu, Ratna terdiam. Mencermati ucapan Teh Yani.

"Oh iya. Nanti akan saya pikirkan dahulu."

"Ehh, bu. Saya enggak bisa lama-lama di sini, harus beresin barang dulu di rumah. Saya permisi dulu atuh, ya. Semoga kita bisa jadi tetangga yang akur. Assalamualaikum!" pamit Teh Yani.

"Waalaikumussalam."

Setelah saling tukar senyum, Teh Yani pun melangkah meninggalkan tempat. Ratna menatapnya sampai perempuan sunda itu mengecil dan hilang dari pandangan.

Dengan membawa mangkuk yang katanya berisikan gorengan, Ratna masuk ke dalam menemui Andini dan  Andromeda.

Andini melihat sang Ibu dengan bawaannya di tangan.

"Apa itu, bu?" tanyanya memecahkan penasaran.

"Kita punya rezeki, nih. Tadi ada Teh Yani istrinya Pak RT, memberikan ini." Tegas sang Ibu.

Mangkuk pun di simpan di pertengahan duduk mereka.

Andromeda yang kebetulan tengah merasa lapar, membuka tutupnya, segera menyerbu makanan itu.

"Teh Yani itu, pedagang kaki lima di Monju. Dia menawarkan ibu buat gabung di sana."

"Maksud Ibu, jualan juga di sana?" jelas Andini, menanggapi ucapan sang Ibu.

Andromeda yang mendengar percakapan itu terdiam. Tak memberikan respons apa pun. Hanya saja mulutnya tak diam karena dipakai untuk mengunyah.

"Kalau ibu gabung di sana? Kira-kira jualan apa, ya?"

Bulan Juni Untuk AndromedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang