3rd Truth

2.6K 149 8
                                    

“ Bang Satya! Oma mana?” seru seoarang anak yang masih berseragam sekolah memasuki restoran tersebut.

“ Bang bang bang bang. Udah berapakali dibilangin panggil Mas aja jangan pake Bang. Kesannya Cuma Bangsat doang yang kedengeran,” kata Satya menjitak kepala anak itu.

“ Hehehe maaf Bang eh Mas. Er Mama mana ya mas kok gak keliatan? Biasanya Dika pulang Mama ada di sini?” kata Dika sambil kepalanya menoleh beberapa kali kesana-kemari mencari sosok Mamanya.

“ Oh Bu Boss lagi ke resto cabang yang di Jakut. Katanya sih ada problem gitu. Pulang sore katanya.”

“ Duileh pake problem-probleman sekarang. Oh ya Bang menunya apa nih hari ini?” tanya Dika lagi.

“ Ck yang spesial sih kaya kemaren lagi seafood.”

“ Yah seafood lagi. Bosen dah. Yaudah deh Bang Dika pulang aja deh. Salam buat yang lain. Oh ya Bang kerja yang bener ya hehehe,” ejek Dika sambil mendorong pintu keluar restoran.

“ So pasti lah Dik,” kata Satya seraya mengangkat jempolnya. Dika hanya tersenyum kecil.

Sesampainya di parkiran dia mulai menghidupkan motornya. Hampir ia meninggalkan tempat itu saat seseorang mengalihkan perhatiannya. Dia melihat anak itu ya anak itu. Anak yang tempo hari pingsan ditangannya. Siapa lagi kalau bukan Ren.

“ Ren sebenarnya dia punya...” Dika masih penasaran dengan kata-kata Liza waktu itu. Apa yang dipunyai Ren? Apalagi waktu itu Ren kelihatan marah saat Liza hendak mengatakan hal itu padanya.

Dika kembali memfokuskan pandangannya pada sosok Ren. Disampingnya ada Liza yang menampik tangan-tangan yang menyentuh Ren layaknya seorang bodyguard.

“ Mungkinkah mereka pacaran?” batin Dika. Tunggu. Rasanya ada yang aneh dengannya hari ini. Kenapa dia begitu mikirin Ren?

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesegera mungkin dia memutar gas dan melaju keluar dari parkiran restoran itu.

Hari itu Ren sudah siap dengan tas yang cukup besar. Dia agak kepayahan mengangkat benda itu meski isinya hanya beberapa pakaian saja.

Begitu membuka pintu rumahnya dia mendapati sebuah motor sudah bertengger di depan rumahnya berikut pemiliknya. Dia tersenyum kearah Ren.

Dengan agak malu-malu Ren membalas senyuman itu. Mukanya kembali ditekuk sewaktu dia melihat sebuah tas besar dibelakangnya. Ren tahu apa tugasnya sekarang. Dia yang harus membawa barang-barangnya.

“ Kenapa ditekuk lagi tuh muka. Padahal cakepan kalo kaya tadi,” ujar Dika lantang membuat pipi Ren memerah dan salah tingkah.

“ Hah apa yang tadi gue bilang? Dia cakepan? Ah mungkin Cuma reflek doang,” batin Dika meyakinkan dirinya. Sedangkan Ren masih senyum-senyum sendiri. Kata-katanya membuatnya senang.

“ Heh malah senyum-senyum sendiri. Buru naik!” Ren menyadari apa yang tengah dilakukannya dan buru-buru memikul tas beratnya naik motor Dika.  

“ Pegangan biar gak jatuh,” Ren diam saja. Dika menoleh sambil menyeritkan dahinya.

“ Kenapa? Mau jatoh?” dengan paksa Dika menyeret tangan Ren untuk berpegangan dipinggangnya meski Ren juga sempat berontak akhirnya dia nurut juga.

“ Nah gitu kan beres. Gue nggak mau disalahin gara-gara loe jatoh ya,” Ren hanya diam saja. Dika mulai menstarter motornya dan melaju dikeramaian. Angin berkali-kali menerpa wajah Ren yang memerah. Dadanya berdesir. Dia hanya berharap agar Dika tak mendengar detak jantungnya saat ini.

Dika terus saja berkonsentrasi pada jalanan hingga sesuatu menempel pada punggungnya. Dia pinggirkan motornya sejenak lalu dia toleh kebelakang. Ren tengah tertidur rupanya.

PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang