At The 5th Tent From The Corner

3K 153 18
                                    

Dengan santai Ren menggeliatkan badannya. Sensasi yang dirasakannya memang snagat menyenangkan apalagi setelah tidur yang nyenyak. Kedua matanya masih menyipit karena nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Beberapa kali pula dia masih menguap pelan sambil meregangkan ototnya lagi.

Pelan-pelan Ren mengingat-ingat apa yang telah terjadi setelah dia sadar sepenuhnya. Hukuman, kayu, jatuh, lubang, Dika, pingsan. Dia terdiam. Ditengoknya keadaan diluar tenda melalui celah kecil dari pintu keluar tenda. Langitnya berwarna orange itu artinya hari sudah sore sedangkan kejadian waktu itu pas sudah hampir magrib. Itu pasti cuma mimpi, pikir Ren begitu.

Ketika akan menghembuskan nafas lega dia kembali menahannya ketika melihat kakinya terbalut perban. Ngilu yang yang tadi tak terasa kini mulai mempengaruhi otaknya. Satu hal yang dia sadari saat itu adalah tiba-tiba saja rasa laparnya menyeruak ke permukaan. Beberapa kali perutnya berbunyi minta diisi.

Kruyuuuuk.....

Sebisa mungkin bahkan Ren sudah mencoba menahan agar perutnya tak berbunyi. Hanya saja dia tak bisa berbuat apa-apa. Seingatnya dia membawa kue yang pas berangkat sengaja dia ambil dari kulkas untuk camilan malam. Dia langsung menggeledah isi tasnya hingga keakar-akarnya tapi nihil. Dia akhirnya ingat, sebelum dimasukkan kedalam tas dia masih sempat memakannya beberapa gigitan di meja makan sebelum akhirnya Dika datang dan dia lupa memasukkan kue tersebut kedalam tas. Ren mengutuki sifat pelupanya yang sudah akut. Akibatnya perutnya sudah berdemo terus mengeluarkan suara yang memalukan untuk didengar orang lain. Bahkan suara tersebut sampai membangunkan Dika yang tertidur disebelah Ren.

“ Mmmmm, Rean? Loe mmmm udah bangun? Hoaaaah. Gila nyenyak banget gue tidurnya,” ujar Dika sembari menguap selebar-lebarnya. Ren yang tak menyadari adanya kakak kelasnya yang tengah tidur disampingnya dari tadi kontan kaget.

Ren masih terdiam memandangi siapa yang berada didepannya. Terpaku, terpukau hingga dia lupa untuk bernafas. Setelah meregangkan otot Dika menghampiri Ren, melihatnya sesaat dan membuat Ren tegang setengah hidup, kemudian meraih tas yang berada dibelakang Ren.

“ Nih gue beliin roti tadi. Sapa tau loe laper soalnya dari kemarin loe betah banget pingsannya. Malah gue udah sempat kepikiran loe itu mati,” Dika menyerahkan sebungkus roti basah yang agak besar meski tak sebesar roti buaya pada Ren. Meski merasa kesal pada Dika toh Ren menerima roti itu dan memakannya juga. Cacing di perutnya sudah berevolusi dan meminta jatah makanan lebih.

Tanpa babibu lagi Ren langsung memakan roti itu. Awalnya pelan-pelan karena dia masih malu kepada Dika. Kemudian lama-lama cara makannya lebih mirip orang yang setahun tak makan. Mungkin mirip cara singa mengoyak mangsanya dengan beringas.

Tiba-tiba saja pintu tenda terbuka dan Liza memasukkan kepalanya kedalam. Gadis itu melihat Ren yang tengah makan dengan rakusnya disamping Dika. “ Loe dah bangun Ren? Lagi makan? Yah padahal gue udah beliin nasi nih. Yaudah deh gue simpen buat ntar malem aja deh,” Liza berniat meninggalkan tenda Ren.

“ Eits tunggu! Siapa yang bilang kalo gue gak mau?” Ren menahan tangan Liza dari belakang hingga Liza tak bisa melanjutkan langkahnya. Liza hanya terdiam sambil memberi isyarat dengan lirikan mata menunjuk roti yang dimakan Ren. “ Oh ini? Masih kurang,” jawab Ren dengan cengirannya. Akhirnya Liza memberikan nasi bungkus yang tadi dibelinya dan disambut dengan meriah oleh Ren yang langsung memakannya dengan agresif.

“ Sabar Rean makannya! Gue gak bakalan ngambil kok. Kesedak baru tahu rasa loe,” ujar Dika menahan tawanya karena mulut Ren belepotan.

“ Ih kwak Dwikwa jewek bwangwet dwoanywa...uhuk uhuk,”Ren berbicara dengan mulut penuh hingga akhirnya dia benar-benar tersedak. Liza dan Dika yang dibuat gelagapan segera mencari air. Mereka memang membelikan Ren makanan tapi mereka lupa membeli minuman. Liza segera keluar dan meminta air minum pada anak tenda sebelah.

PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang