8

213 47 20
                                    

Kirino

Pertama kali yang tidak pernah dilupa. Kata-kata itu memang benar adanya, dan gue seratus persen setuju. Kata pertama kali itu semacam pena yang digoreskan dalam-dalam di atas kertas. Kadang-kadang jejaknya masih dapat terlihat jelas hingga lembar-lembar berikutnya, entah sampai lembar ke berapa.

Pertama kali itu yang nantinya akan berpengaruh ke kehidupan kita selanjutnya. Semacam mengambil kontrol atau mengarahkan kemana waktu akan membawa kita, or how circumstances will affect the rest of our life.

Sometimes, it might affect our behaviour. After a massive thing bring changes in our life.

Misalnya, saat pertama kali lo pergi ke suatu rumah makan. Ketika menu yang pertama kali lo coba rasanya nggak pas di lidah, otomatis kesan lo terhadap makanan lain akan berubah alias pasti sama nggak enaknya. Hal itu akan merubah pandangan lo akan rumah makan itu.

Bersama dengan Ara, adalah kali pertamanya gue merasakan berada dalam sebuah hubungan yang sebenarnya kami tidak punya masalah-masalah yang benar-benar meletakkan kami dalam sebuah perdebatan atau pertengkaran besar sampai berepisode-episode yang mampu mengalahkan sinetron di televisi.

Kata pertengkaran selalu absen dari hubungan kami, setidaknya sejauh ini. Ara bukan orang yang mudah tersulut emosinya, dan gue juga nggak suka memancing emosi orang in a literal meaning. Percaya kan lo semua?

Siang itu, pertama kalinya kami pulang bersama setelah menjalin hubungan. Minggu pertama memasukki tahun ajaran baru. Gue belum ada kelas tambahan yang biasanya dilaksanakan sepulang sekolah. Tapi kebanyakkan di pagi hari, sih.

Berdiri di depan kelas Ara membuat beberapa temannya melempar pandang ke arah gue. Beberapa ada yang menggodanya. Mungkin terlalu jelas ya. Kirino anak IPA yang sering menang lomba anak bahasa. Kayaknya gue salah jurusan. Atau Kirino yang punya banyak penggemar tapi nggak peduli dengan mereka tapi justru pacaran dengan seorang perempuan yang dia baru kenal awal tahun ini.

"Kamu udah bawa helm, kan?"

"Udah nih,"

"Habis ini mau ke toko buku bentar, nggak?"

"Tumben mau beli buku?"

"Biar cepet pinter."

"Udah pinter kok. Cuma kadang suka mager aja,"

"Kayaknya semua orang pinter deh. Mereka aja yang mau atau enggak pakai kepinteran mereka buat mikir,"

"Nah, itu tau. Sekarang, kenapa coba kamu mageran?"

"Soalnya aku lebih suka mainan sama kucing. Nanti kan bisa bikin shelter. Atau nggak sibuk mikirin kamu,"

"Ya Tuhan dangdut banget... Udah lah belajar dulu mau UN juga. Nggak usah aneh-aneh,"

Gue tertawa setiap kali perempuan itu menanggapi perkatan-perkataan gue yang memang terkesan cheesy. Padahal, gue bukan tipe orang yang seperti itu. Bahkan kalau sama orang lainㅡterkecuali orang tuaㅡaja gue jarang sekali mengungkapkan rasa sayang lewat perkataan, geli. Sebesar itu dampak seorang Ara dalam mempengaruhi perilaku gue.

Dinginnya pendingin ruangan menyapu kulit kami ketika pertama kali memasukki toko buku kesayangan umat manusia, sebut saja Gramedia. Tidak begitu ramai siang itu, rata-rata diisi oleh pengunjung yang masih berseragam. Sama seperti gue dan Ara.

Toko buku memang tempat pelarian terbaik. Bau buku yang menyeruak di hidung ketika berdiri di jajaran rak itu seakan-akan memberi perintah buat otak kita biar rileks. Tapi beda cerita kalo sama buku bacaan.

ElixirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang