11

174 42 6
                                    

ㅡAra

Lomba sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Dan selama satu jam itu juga, mataku tidak lepas dari menyisir satu-persatu barisan penonton, dipenuhi dengan wajah-wajah yang amat kukenali. Kami berhasil membawa pulang sebuah piala sebagai pemenang di posisi kedua, bukan sesuatu yang buruk untuk membayar kerja keras kami beberapa hari belakangan. Sekaligus menutup masa-masa kami berada di dalam keanggotaan paduan suara ini.

Tapi selama satu jam itu pula, Kirino tidak kunjung menampakkan batang hidungnya disana. Perasaan campur aduk memenuhi ruang hatiku. Aku tidak marah, aku tidak merasa sedih, tapi aku khawatir. Tentang bagaimana sosok laki-laki yang selalu hadir di dalam hari-hari pentingku, tiba-tiba saja melewatkan satu acaranya begitu saja.

Seharusnya aku merasa wajar, lantaran Kirino juga tidak mungkin akan terus-menerus berada disisiku selamanya. Setidaknya untuk saat ini, ia masih. Tapi pesan-pesan yang ku layangkan pagi tadi, masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa Kirino sudah menerimanya. Atau setidaknya membacanya begitu saja.

Bahkan sejak pertemuan terakhir kami di rumahku, Kirino seakan-akan menghilang. Pesan-pesan yang aku kirimkan kepadanya dibalas dengan singkat, bahkan terlambat. Tidak biasanya ia membiarkan pesanku begitu saja sampai lebih dari satu hari.

Jutaan pertanyaan tergurat di dalam pikiranku, tentang berubahnya Kirino. Hal yang tidak biasa ia lakukan membuatku benar-benar khawatir. Apakah ia baik-baik saja?

"Ra, gue duluan ya."

"Gue juga, deh."

"Eh Erin, ikut dong,"

"Bye, Ara!"

"Take care girls!"

Aku berdiri sendirian di lobi. Menggenggam ponsel di tangan kananku dan sebuah kotak berisi makanan di tangan kiriku. Panitia membagikan makan siang untuk kami setelah pemenang diumumkan. Aku masih belum memakan nasi kotak itu. Sampai aku benar-benar mengetahui dimana keberadaan Kirino hari ini.

"Ra, nggak pulang lo?" Tanya Bayu dengan tiba-tiba. Persis seperti malam itu, ketika kami baru saja selesai berlatih.

"Belum, Kak. Habis ini kayaknya," jawabku.

"Loyo banget lo, kenapa?" Bayu memasukkan ponselnya ke dalam kantong.

"Nggak apa-apa. Kak, gue mau tanya. Lo liat Kirino nggak hari ini?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Lihat. Gue kira dia udah kesini tadi. Emangnya nggak ada?"

"Nggak, Kak. Chat gue juga nggak ada yang dibales sejak pagi."

Bayu terdiam seolah berpikir. Atau laki-laki itu memang sedang berpikir?

"Gue boleh... Nebeng ke kost lo nggak?" Ujarku tiba-tiba, yang membuat Bayu mengernyit.

"Boleh, kok. Yaudah ayo bareng gue,"

Aku berjalan di belakang Bayu menuju parkiran yang sudah sepi. Hanya ada beberapa panitia yang masih mengembalikan sound dan beberapa perangkat lainnya yang digunakan untuk acara barusan.

Bayu menghentingkan langkahnya, kemudian membentangkan jaket yang sedaritadi hanya ia tenteng begitu saja. Laki-laki itu berjalan ke arahku dan perlahan meletakkan jaket hitamnya di atas kepalaku.

"Panas, Ra. Nanti lo pusing. Sorry ya kalo mungkin gue nggak sopan,"

Aku terkesiap. Tapi kemudian aku mengucapkan terimakasih dan kembali berjalan di belakang laki-laki itu. Parfum Bayu menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku. Benar-benar menggambarkan sosok Bayuaji yang sering dipuja-puja oleh banyak perempuan di jurusanku.

ElixirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang