9

218 39 11
                                    

ㅡAra

Sabtu pagi ceria di rumah bersama keluarga. Kapan terakhir kali aku merasakan momen-momen ini berlalu dengan membahagiakan tanpa beban? Sepertinya sudah lama sekali sebelum tugas-tugas menyerang tanpa ampun.

Sebelum waktu-waktu di Sabtu pagikuㅡkebetulan sekolahku menerapkan sistem 5 hari kegiatan belajar mengajar kala ituㅡdipenuhi dengan lembaran kertas-kertas modul atau pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan di hari Seninnya.

Kalau di hari Minggu, jelas-jelas menjadi hari dimana kami semua harus bangun pagi supaya tidak melewatkan misa pagi atau kesusahan mencari celah parkir di gereja. Jadi tidak ada hari yang bisa membuatku berleha-leha santai di atas kasur hingga rasa kantuk benar-benar pergi menghilang.

"Kak Ara, Curut kok diem aja?" Tanya Aidanㅡadikkuㅡyang tiba-tiba saja menyembul di ruang tengah.

"Lah, udah kamu kasih makan belum?" Aku balas bertanya kepada bocah laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.

"Kirain kakak yang kasih makan tadi?" Wajahnya memandangku dengan raut kebingungan.

Aku spontan terbangun dari posisi duduk yang nyaman dan berlari dengan sedikit cepat ke halaman belakang yang berdekatan dengan dapur, dimana Curutㅡkura-kura milikku dan Aidanㅡditempatkan.

"Anjir. Kok gue lupa ngasih makan Curut," monologku yang membuat Aidan memandangku dengan wajah datar.

"Emang kakak udah tua, makannya jadi pikun," sambarnya tanpa intonasi yang mengguratkan emosi.

"Sembarangan. Tolong ambilin makannya Curut dong," pintaku pada Aidan yang langsung dikabulkan oleh anak itu.

Aidan berjalan mendekat ke arahku yang tengah berdiri di depan akuarium kaca berukuran sedang. Aku menaburkan makanan Curut dengan sedikit cemas lantaran Curut memang tidak berkutik sama sekali.

"Dan, mati nggak ya?"

"Mana aku tahu, Kak? Emangnya aku malaikat pencabut nyawa?"

"Ya Tuhan adek gue..."

Jari telunjukku mengetuk-ngetuk kaca akuarium itu. Sedaritadi aku merapalkan doa di dalam hati berharap supaya Curut menggerakkan dirinya. Dan doaku terkabul.

"CURUT NGGAK JADI MATI," pekik kami bersamaan, membuat Mama yang sedang memasak sarapan di dapur berjengit terkejut.

"Makanya, kalian kalo punya peliharaan itu tanggungjawab. Mama emang sengaja nggak kasih makan si Curut biar jadi kesadaran kalian aja," ujar beliau.

"Iya, Ma. Nggak lagi-lagi deh..."

Setelah drama singkat tentang siapa yang memberi makan Curut barusan, Aidan dan aku kembali menuju ruang tengah untuk menyaksikan acara kartun pagi. Bedanya, Aidan duduk di lantai dengan sebuah buku latihan soal SBMPTN di meja yang beralih fungsi menjadi meja belajar dadakkan di depan televisi.

Papa pagi-pagi sekali tadi, ketika aku baru saja bangun, berpamitan untuk bersepeda yang sudah menjadi rutinitasnya setiap akhir pekan bersama dengan bapak-bapak di kompleks kami. Kalau sudah begini, biasanya Papa akan pulang siang.

"Kamu udah pelajaran tambahan belum sih?" Tanyaku pada Aidan yang tengah fokus membaca bukunya.

"Aelah, Kak. Lagi baca juga ditanya-tanya. Minggu depan baru mulai," jawab Aidan dengan sedikit kesal.

"Makanya kalau belajar mendingan di kamar aja. Emang bisa apa kamu belajar sambil nonton tivi?"

"Bisa-bisa ajasih kalo nggak ditanya-tanyain,"

"Oh nyindir nih ceritanya..."

Karena iba, akhirnya aku membiarkan anak itu berkutat dengan latihan-latihan soal yang benar-benar memuakkan itu. Aku paham betul rasanya. 

ElixirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang