04 || Rahasia

8 0 0
                                    

Warning !! Typo bertebaran
Happy reading !
°°°

Hari sudah berganti beberapa jam yang lalu. Kota pun sudah sepi dari pengendara motor maupun mobil. Namun Irene dengan nekatnya memilih untuk pulang ke rumah. Padahal biasanya jika sudah terlalu larut ia akan memilih untuk menginap di markas.

Beberapa anggota BC pun berinisiatif untuk menemani Irene pulang. Tapi gadis itu menolak dengan alasan bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri. Semua anggota BC tahu itu, namun namanya seorang perempuan tetap saja tidak baik berada di luar tengah malam yang sepi seperti ini.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba gadis itu mendengar sebuah teriakan seseorang yang kesakitan. Suara itu cukup nyaring dan bisa dipastikan bahwa itu bukan rasa sakit yang biasa.

Entah dorongan dari mana, Irene mendekati suara tersebut. Ia memarkirkan motornya agak jauh untuk menghindari curiga. Kemudian berjalan perlahan. Hingga sampailah ia di sebuah gang sempit yang cukup gelap karena tidak ada lampu jalan yang menerangi gang tersebut. Lampu jalan tersebut hanya terpasang di seberang gang tersebut, atau lebih tepatnya di trotoar jalan besar.

Dari sana ia melihat siluet seseorang yang tengah memegang pisau menusuk dan memberi beberapa goresan pada seseorang yang sudah tergeletak tak berdaya di bawahnya. Sungguh miris sekali nasib orang tersebut.

Gadis itu hanya menonton dengan tatapan datar. Tidak ada niatan untuk membantu sang korban agar tidak mendapat serangan lebih banyak. Kejam memang, tapi bagi Irene itu bukanlah urusannya. Ia pun akhirnya memilih untuk kembali ke motornya untuk melanjutkan perjalan pulang.

Namun belum jauh ia meninggalkan gang tersebut. Sebuah suara menginstrupsinya.

"Lo udah liat semua kan ?"

Irene menghentikan langkahnya. Namun tidak ada niatan untuk menoleh ke belakang. Gadis itu merasa sedikit familiar dengan suara tadi. Tapi ia tidak begitu mengingatnya dengan jelas.

"Lo nggak bisa lepas begitu aja setelah lo liat semua yang gue lakuin tadi," lanjut orang tersebut yang Irene yakini adalah seorang lelaki.

Irene masih diam di tempat. Tidak ada pergerakkan apapun yang ia lakukan. Entah itu menoleh ataupun mencoba untuk melangkah.

Telinganya kini menangkap suara langkah sepatu dari belakang. Ia yakin itu dari orang tersebut.

Leher jenjangnya merasakan sebuah benda dingin dengan aroma anyir yang cukup kuat. Laki-laki itu rupanya berniat menyerangnya.

"Diam atau tusukkan?" tanya laki-laki itu.

Irene melirik. Ia bisa melihat wajah laki-laki itu dan dia adalah si pendatang baru.

Ya, itu Brandon. Laki-laki yang baru Irene lihat di arena balapan. Kini berdiri di sampingnya sambil menodong sebuah pisau kecil di lehernya.

"Gue nggak tertarik," ucap Irene datar. Brandon terkekeh.

"Lo pikir gue bakal percaya begitu aja ? Jangan harap," ucap Brandon tegas.

"Gue bakal lakuin kalau itu bisa ngasih keuntungan. Sayangnya mengatakan apapun tentang lo cuma buang-buang waktu," jelas Irene.

Brandon menurunkan pisaunya yang sudah sedikit menggores leher Irene. Ia meneliti netra biru Irene, mencoba mencari kebohongan di dalamnya.

Nihil, gadis itu mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

"Fine, kali ini gue percaya. Tapi karena lo sudah tahu rahasia gue, lo nggak akan semudah itu bebas dari gue," ucap Brandon.

Irene melirik ke arah Brandon sekilas. Kaki jenjangnya kembali melangkah menuju motornya. Sementara Brandon hanya menatap punggung gadis itu dengan seringai kecilnya.

Bloody gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang