Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
"Kenapa ujan-ujanan sih? Kek bocah aja lo.”
Javas menghela napas. Rambutnya masih basah, tubuhnya hanya dilapisi kaus tipis warna hitam. Meskipun sudah mandi dan memakai minyak hangat, Jinu tetap mengomel saat dan bahkan setelah selesai membuat sop ayam untuk Javas.
“Lama-lama ya kalian ini gue sewain baby sister biar tau kalo ujan ya jangan balik dulu. Kalo sakit, siapa yang repot?” lagi, mengomel lagi.
“Maaf, Uda.”
Jinu menghela napas lelah, melepas rubber gloves di tangannya dan mematikan kran. Ia sudah selesai mencuci piring. Matanya melirik jendela, hujan masih mengguyur bumi. Dan, Jinu malah makin cemas karena Jeno belom pulang dari kampus.
“Lagian kalian udah gede kok gue khawatir sih? Keknya emang darah gue darah keibuan.”
Javas terkekeh. “Jeno udah gede, Da. Bukan bayi.”
Jinu melirik sinis, mengambil dua mug dan mulai menyeduh coklat panas. “Tau apa lo korek tempe! Jeno badan doang gede.”
Javas tertawa. “Jul, coba lo telfon Jeno. Emak nya udah ngomel.”
Julian yang baru turun dari lantai dua dan melangkah menuju dapur pun melirik Jinu. Ia tertawa geli. “Masih jam 8 astaga, Udaaa.”
Jinu mendongak. “Bilangin aja. Jangan ujan-ujanan. Uda males ya repot tengah malem urusin bayi. Lagian udah dibilang musim hujan, suruh bawa payung aja pada susah.”
“Da, masa cowok manly kayak kita suruh bawa payung warna-warni sih? Mencolok lagi. Merah, kuning, hijau, polkadot. Gak habis fikir gue di caci-maki dikampus.” Julian bersuara protes, ia melangkah mendekati Jinu untuk mengambil mangkuk dan sendok.
“Yang penting kan payung! Lagian kan colourful. You will look so happiness with that. Masa mau jadi cowok sadness terus sih kalian.”
Julian mendesah pelan, tangannya masih sibuk mengambil sop ayam dari panci.
“Lagian Uda pake payung begitu gak ada yang caci-maki. Makanya, Jul, punya type wajah tuh kayak Uda. Anti hujat. Ganteng sampe jadi mayat.”
“Dih,” lagi, Julian mendecih malas, “nih, ngomong sama ceker ayam.” Julian menunjuk ceker ayam yang ia keluarkan dan ia taruh ke dalam mangkuk.
“Iyan kurang ajar sama orang tua!” Jinu melotot.
Julian terkekeh, mengikuti langkah Jinu yang menuju meja makan untuk menemani Javas yang tumben sekali, banyak diam.
“Kenapa sih? Diem aja kek buronan.” Jinu mulai mengusik.
Javas sudah selesai makan, mangkuknya belum ia bawa ke westafel dan ia sudah menarik mug yang di sodorkan Jinu. “Gue mencoba untuk tidak mengintrupsi keributan, Da.”
