7. Sore Selepas Sekolah

589 100 110
                                    

Bening

Setelah gue bertemu Hanun ketika kami ditempatkan di kelas yang sama beberapa bulan lalu, gue baru menyadari bahwa nasihat yang menyangkut tentang kehati-hatian dalam memilih teman karena teman bisa membawa pengaruh untuk kita adalah benar adanya. Gue ingat hari pertama di tahun ajaran baru itu. Malamnya, Bita, teman di kelas sepuluh yang kebetulan ditakdirkan untuk sekelas lagi bersama gue, meminta gue untuk menjadi teman sebangkunya. Pelan-pelan gue sampaikan pada Bita bahwa gue ingin duduk bersama teman yang lain. Untungnya, Bita mengerti.

Sebenarnya, niat gue tersebut muncul karena gue ingin pergaulan gue tidak di situ-situ saja. Menurut gue, masuk ke kelas yang baru merupakan ajang untuk memperluas koneksi. Gue sudah melakukannya sejak SMP, selalu begitu tiap tahun ajaran baru, dan gue tidak pernah menyesal sudah meyakinkan diri gue usia tiga belas untuk berani memulainya. Thankful for her courage big time. Lagipula, jika beruntung, gue bisa jadi bertemu dengan orang yang kemudian akan menjadi sahabat gue.

Tahun ajaran baru yang lalu, gue bisa bilang gue beruntung karena gue bertemu Hanun.

"Hanun, ya? Samping lo kosong, nggak?" tanya gue saat gue melihat seorang perempuan dengan jilbab putih yang menjuntai menutupi dadanya duduk sendirian di baris ketiga.

Gue mengenalinya karena nama Hanun sudah sering disebut-sebut di sekolah. Tiap hari Jumat, Hanun selalu rajin datang tadarus khusus putri walaupun kegiatan tersebut hanya wajib diikuti oleh siswa muslimah pada masing-masing kelas secara bergilir. Saat jadwal kelas gue dulu, X-MIA-B, menjadi peserta tadarus tersebut, gue melihatnya begitu teduh dan ikhlas untuk menuntun manusia-manusia yang kurang akrab dengan kitab suci agamanya sendiri macam gue ini.

Setelah menyadari gue berdiri di samping mejanya, Hanun menengadah, senyumnya ramah sekali. "Kosong, Ning."

Wow, dia tahu nama gue! batin gue kala itu yang membuat gue percaya diri untuk menawarkan diri jadi teman sebangkunya. "Gue boleh duduk di sini?"

"Boleh banget," jawabnya lalu ia membantu menarik kursi gue mundur agar gue leluasa duduk.

Jika dilihat dari penampilannya, gue yakin ada segelintir orang yang menaruh stigma tertentu pada Hanun. Kaku, saklek, tidak seru. Padahal, hanya butuh satu hari untuk gue mematahkan prasangka-prasangka tersebut. Gue senang mengobrol dengan Hanun karena ia ternyata juga menyukai peran Amy Adams sebagai Giselle di film "Enchanted". Bahkan, Hanun juga hafal lagu-lagunya. Jadi, setelah hari itu, kami mulai bertingkah seolah kehidupan kami juga sebuah musikal dan bolak-balik menyanyikan "That's How You Know" hingga membuat satu kelas menatap kami keheranan layaknya Patrick Dempsey di film tersebut.

Hanun juga punya daftar panjang film yang sudah ia tuntaskan. Beberapa di antaranya seperti "Flipped", "50 First Dates", dan "He's Just Not That Into You" adalah favorit gue juga. Hanun gemas setengah mati terhadap Arini Kusuma di "Love for Sale" dan Arini Chaniago di "Love for Sale 2". Hanun mengidolakan John Mayer, favoritnya lagu "Vultures" di album "Continuum". Hanun kerap mengirimkan gue tautan situs berita tertentu yang reliabel melalui chat Line kami agar keesokan harinya di sekolah, kami bisa membahasnya menurut sudut pandang masing-masing. Terakhir kali, ia mengajak gue berdiskusi mengenai beberapa rancangan undang-undang yang menuai banyak kontroversi di masyarakat.

Setelah beberapa bulan kami bersahabat, gue bisa melihat Hanun jadi jauh lebih terbuka dengan banyak orang dan sering bercanda dengan teman-teman kami yang lain, bahkan dengan Hasbi yang dulu menurut Hanun, laki-laki itu tampak sangat mengintimidasi. Pernah sekali ia bicara ke gue soal ini. Hanun bilang, "Makasih, ya, Ning. Kalo nggak ketemu lo, gue mungkin masih takut untuk kasih liat true colors gue ke orang-orang dan nggak sepercaya diri sekarang."

Then I'll Walk You Home ➳ CalumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang