8. Dua Puluh Detik

859 90 80
                                    

Calum

Dibanding harus terjebak dan terdesak oleh Tariq saat ini, gue lebih ingin berkelana ke masa lalu dan menonton Coldplay di atas panggung Festival Glastonbury tahun 2002. Gue akan menjadi satu-satunya orang yang menyanyikan lagu-lagu dari album "A Rush of Blood to the Head" dengan lantang karena albumnya belum rilis saat itu sehingga pengunjung lain asing dengannya. Gue sadar betul hal itu mustahil, maka gue tetap di sini, di kantin sekolah yang hampir tidak pernah gue datangi, masih belum beranjak walaupun di antara gue maupun Tariq tidak ada yang berusaha melanjutkan pembicaraan.

"Masih dua bulan lagi," kata Tariq setelah ia meneguk jus jeruknya. "Acaranya nggak terlalu besar juga, kok. Lo juga kenal anak-anak Rumah Ampu, 'kan. Masa nggak mau bantu mereka, Cal?"

Ketua Bakti di hadapan gue ini ternyata belum henti-hentinya berusaha mendapatkan persetujuan untuk menuliskan nama gue pada kolom ketua acara di proposal program kerja kami, Asa. Inti acara Asa sebenarnya tidak begitu rumit. Kami hanya akan mendatangkan beberapa narasumber dari berbagai profesi untuk menambah referensi anak-anak Rumah Ampu tentang cita-cita apa saja yang bisa mereka pilih.

Tahun kemarin, gue bertugas sebagai kakak mentor yang menjadi fasilitator satu kelompok anak Rumah Ampu menceritakan refleksi diri mereka tiap tiga pembicara selesai memberikan materi. Mulai dari dokter, polisi, pilot, petugas pemadam kebakaran, musisi, penyiar radio, hingga sutradara. Jangankan anak-anak Rumah Ampu, setelah gue ikut sesi profesi penyiar radio, bahkan gue sempat tertarik menggeluti pekerjaan itu. Beberapa saat setelahnya, gue baru menyadari bahwa gue tidak terlalu suka bicara.

"Kenapa harus gue?" tanya gue pada Tariq karena gue memang tidak mengerti atas dasar apa tiba-tiba ia menunjuk gue untuk jadi ketua acara.

"Karena lo passionate di Bakti. Gue tau lo selalu ingin kasih yang terbaik dari diri lo buat anak-anak Rumah Ampu. And, in fact, you should try."

"Try what?"

Tariq malah tertawa sebelum ia menjawab gue. "Something you haven't."

Gue mengerti betul maksud Tariq adalah soal menjadi pemimpin. Menjadi vokal bukan sesuatu yang biasa gue lakukan. Seringnya, gue manut, mengikut, menurut. Gue gagap jika harus mengatur ini-itu, terlebih jika membawahi orang-orang yang jelas jauh lebih kompeten dibanding gue.

"Riq, gue minta maaf banget, tapi gue bener-bener nggak bisa," sahut gue, ingin menutup percakapan kami dengan keputusan gue yang sudah final.

Tariq mengangguk, lalu ia bangun dari bangku di seberang gue. "Pikirin lagi, ya. Gue tunggu sampe hari Senin dan gue beneran berharap lo berubah pikiran. Don't let me down, man."

Gue melihatnya pergi dan kembali bergabung dengan meja tengah kantin yang selalu penuh dengan siswa-siswa yang suaranya bisa terdengar dari radius dua puluh meter itu. Meja itu sudah turun temurun dijuluki 'Wangun Pindah Tempat' karena hampir semua murid yang biasa nongkrong di Wangun akan duduk di sana ketika jam istirahat.

Daripada berada di antara ramai yang tidak bersahabat ini, gue memutuskan untuk kembali saja ke kelas. Tepat sebelum gue melangkah keluar area kantin, gue melihat sosok perempuan yang badannya dibalut sweater rajut berwarna ungu tua sedang mengobrol seru dengan penjual dimsum. Bahkan tanpa harus melihat wajahnya saja, gue bisa membayangkan raut antusias yang selalu ia tampilkan tiap kali berbincang dengan orang lain.

Sudah tiga hari sejak terakhir kali gue melihat raut wajah itu. Setelah gue mengusirnya dengan sangat kasar pada jam pelajaran kosong yang seharusnya diisi Pak Hartono, Bening tidak pernah lagi berusaha menjangkau gue. Seharusnya, gue senang dan tenang karena perubahan tingkahnya itu membuat gue tidak perlu repot menolaknya berkali-kali untuk menulis review "Di Gelap Kota" di Baswara seperti yang selalu ia inginkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Then I'll Walk You Home ➳ CalumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang