EOSSS;10

48 8 0
                                    

LavenderWriters Project III Present

Edinburgh of Seven Seas Santorini © Group 8

Part 10 - Created by Ezayss

▪▪▪


Gumpalan awan yang terapung di atmosfera, kini berwarna hitam merata di langit. Tidak ada cahaya sang mentari yang mengintip malu di sela-sela korden. Tampaknya, awan tengah menyembunyikan mentari di balik gumpalan hitamnya. Hingga aroma petrichor menyambut di pagi hari ini.

Gadis yang berbalut piyama itu masih saja meriuk di balik selimut tebalnya. Kelopak matanya tampak lengket untuk dibuka, padahal alarmnya sudah berdering sejak tadi.

"Uwin, ini sudah jam setengah tujuh, kamu tidak berangkat sekolah?" tutur Karin, berdiri di depan kamar Nara sambil mengetuk pintu cukup keras. Lalu, ia membuka knop pintu. Karin sudah hafal pasti Nara tidak mengunci pintu kamarnya.

Seketika mata Nara membulat sempurna karena masih mengumpulkan nyawa dan mencerna apa yang diucapkan sang mama. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya.

"Iya, Ma!" teriak Nara, berlari menuju kamar mandi. Ia hampir saja menabrak tembok karena tergesah-gesah hendak masuk ke kamar mandi. Pemandangan itu tidak luput dari mata Karin, ia terkekeh dengan ekspresi Nara yang kelewatan mengemaskan. Satu hal yang pasti, Nara sedikit ceroboh.

Semalam Nara tidak bisa tidur memikirkan kalung itu, dan ucapan mamanya yang sedikit mengusik pikiran. Akan tetapi, ia segera menipisnya karena ia sayang kepada mama dan papanya. Nara bergegas melakukan ritual mandi kilat, untung saja perlengkapan alat tulis sudah ia siapkan. Jadi, Nara bisa langsung mengendong tasnya yang berukuran kecil dan segera turun ke bawah.

Karin sibuk mengolesi roti lapis dengan selai coklat, ia tahu pasti Nara enggan untuk sarapan karena takut terlambat. Di luar hujan masih deras, membuat hawa di pagi embun ini sangat dingin sekali, menusuk-nusuk kulit.

"Nara berangkat dulu, Ma." Nara mencium tangan Karin.

Karin menyodorkan kotak bekal dengan senyum yang merekah, membuat Nara tertular untuk menerbitkan lengkungan di bibirnya. "Ini nanti dimakan, ya, Sayang."

Nara mengganguk patuh. Matanya beredar mencari keberadaan papanya, lalu ia bertanya, "Papa di mana, Ma?"

Tiba-tiba, sebuah jaket tersampir di pundak Nara. Membuat ia menoleh ke belakang dan mendapati papanya yang sudah siap dengan setelan baju kantornya.

"Di luar dingin, Nara. Pakai jaketnya, ya?" tutur Indra lembut. "Ayo, nanti kamu bisa terlambat."

"Iya, Pa." Nara tersenyum hangat, hatinya pun juga ikut menghangat. Sungguh, ia sangat beruntung memiliki orang tua yang penyayang.

Mereka berdua langsung masuk ke dalam mobil, tak lupa Indra membawa payung lipat. Mobil itu keluar dari pekarangan rumah Nara, menerobos derasnya hujan. Entah, kenapa hari ini hujan. Padahal prediksi cuacanya cerah. Namun, terkadang itu bisa saja terjadi.

Nara lebih tertarik melihat hujan di jalanan. Ia ingin bermain di sana saja pagi ini, berlari-lari sambil merentangkan kedua tangan di perempatan jalan, mendongak membiarakan wajah dan rambutnya basah oleh butir air lembut.

08;Edinburgh of Seven Seas Santorini✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang