PROLOG

191 43 53
                                    


"Iya."

Seorang anak remaja laki-laki tangannya yang memegang tas ransel sekolah itu dengan kuat, menunjukkan senyuman yang manis sembari menyetujui hal yang telah di sepakati.

"Sekarang, aku pulang dulu ya?" tanya gadis remaja sebaya yang berada tepat di depannya dengan sedikit keraguan yang tertutupi dan raut wajah penuh harap akan jawaban anak lelaki itu.

Anak laki-laki itu tetap mempertahankan senyuman terbaik yang ia miliki sembari mengangguk kuat.

Dengan perasaan yakin walau sejujurnya masih mengusahakan meyakinkan diri, perempuan itu memperlihatkan deretan giginya. "Oke! Aku duluan yaa sobat," ucap gadis itu dengan wajah ceria melambaikan tangan dan pergi keluar ruangan setelah mengucapkan salam.

Badan tegap yang terlihat kuat, bahunya yang kokoh, dan senyum manis yang tetap berusaha ia pertahankan beribu kali lebih sulit rasanya saat melihat punggung dan rambut atas pinggang yang cantik itu pergi.

Dia tidak pergi dalam arti benar-benar jauh. Ia tetap ada namun berbeda.

Badan dengan bahu kokoh nan kuat itu perlahan turun, bersamaan dengan senyumannya. Tidak ada kata manis lagi dalam air muka itu.

Bagai sebuah tiang rumah yang menopang untuk tetap berdiri itu sudah ambruk, dan kacaunya kondisi dalam rumah yang sudah tidak lagi memilki bentuk.

Hancur. Atas rasa kecewa.

Anak laki-laki beranjak remaja itu terduduk masih di tempatnya sedari awal, menatap pintu sebuah ruangan yang di sebut kelas itu, dengan tatapan tak terartikan.

Ia pun terlalu letih untuk sekedar memikirkan perasaannya. Entah perasaan apa ini namanya. Yang jelas rasanya mengganjal di hati.

Menghela napas berat, dan terus melakukannya berharap yang mengganjal dalam perasaannya menghilang.

Hasilnya nihil.

Cukup lama ia diam terduduk di lantai kelas, terdengar notifikasi pesan dari ponsel yang berada di saku celananya.

Lamunan itu terganggu, dengan segera laki-laki tersebut mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam. Bukan notifikasi.

Sembari berdiri ia menghirup udara sebanyak-banyaknya menguatkan perasaan.

Berlari kecil meninggalkan halaman sekolah dan berjalan menuju sepeda gunung yang terparkir lalu mengayuhnya sekuat tenaga.

Dug!

Seseorang berusaha keluar dari tempat persembunyian hingga kepalanya ke beradu dengan meja.

Sembari meringis kesakitan, ia akhirnya bisa bebas melakukan pergerakan.

"Gue tau ini bakal kayak gini, tapi gue ga nyangka benar-benar terjadi." Kedua tangannya menekuk memegang pinggang, matanya menerawang.

"Lo ga perlu ngejelasin lagi. Dan gue gak perlu khawatir kalau lo mau merahasiakan ini. Toh gue sampai bela-belain ngedengerin ini semua sampai kepentok meja." Laki-laki itu tetap berbicara sendiri.

Ia menatap ruangan kelas yang kosong, sinar matahari berwana jingga dari luar mulai masuk melalui celah ventilasi dan pintu. Indah. namun posisinya ia sedang sendiri di kelas dan sekolah pasti sudah sepi.

"Di pikir-pikir, serem juga nih kelas. Ihh pulang ah!" sambil bergidik ketakutan ia pun keluar meninggalkan sekolah.

Kini hatinya terasa lega walau merasakan apa yang tadi ia saksikan.

Akan tetapi kegiatan menguping menjadi jalan satu-satunya.

-000-

Membuka jendela, membiarkan sinar matahari siang ini dengan leluasa masuk memenuhi setiap penjuru ruangan.

Ruang BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang