BAB IV

89 15 10
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja. Aku dan Aldi memang sering satu kelompok, ditambah Laras dan Clara tentunya. Kami juga punya anggota baru, Dean namanya. Ia laki-laki.

Aku dan Aldi selalu pulang bareng, kecuali kalau aku ada kumpul ekskul, ia selalu minta dijemput. Sudah sangat jelas bukan, ia sangat takut pulang sendirian. Aku masuk ekstrakulikuler paskibra, melanjutkan hobi baris-berbaris ku sejak kecil, yang tentu saja Aldi tidak tertarik mengikutinya. Selain lelah fisik, ia juga tidak sudi kalau sampe badannya menjadi gosong terkena matahari langsung.

*****

''Kerja kelompok kali ini dirumahku saja," ucap Aldi.

"Oke, pulang sekolah aku sama yang lain langsung ke rumahmu, ya," Dean menjawab sembari melirik ke arahku, Clara, dan Laras.

"Kalian duluan saja, aku bakalan pulang dulu buat izin sama ibu, lagian rumahku kan dekat,'' aku menolak.

''Oke," ujar mereka kompak.

Setelah pulang sekolah, kami melancarkan kegiatan yang tadi sudah ditentukan. Aku pulang ke rumah, lalu sesegera mungkin menyusul ke sana. Hanya perlu waktu lima belas menit saja, aku sudah berkumpul dengan mereka.

"Aldi sama Laras mana?" tanyaku pada Dean.

"Beli peralatannya,"

"Kenapa nggak kamu aja, sih, yang beli?"

"Dateng-dateng nyolot banget, sih. Mager aku tuh,"

Dih, cowo macam apa ini.

Aku menunggu hampir setengah jam mereka belum saja kembali. Ternyata Aldi meninggalkan gawainya di rumah. Langsung saja ku buka gawainya, karena aku tau kode sandinya. Biasanya, aku nggak pernah buka roomchatnya karena menurutku itu privasi. Tapi kali ini, hatiku memaksa untuk membuka.

Terkejut, melihat nama LARAS muncul di roomchat paling atas. Beralih ke log panggilan, dan aku menemukan hal yang sama.

Kira-kira mereka bahas apa sampai harus teleponan? Gemas ingin membuka isi chatnya, aku sadar, itu perlakuan yang buruk.

Karena hal itu, mood-ku jadi nggak karuan. Aldi dan Laras sudah sampai dan kami melangsungkan kerja kelompoknya. Aku murung terus, tapi nggak pernah ada yang menyadari. Mungkin ini rasanya terabaikan. Padahal aku sudah memasang wajah paling bete sedunia, tapi kenapa orang-orang nggak ada yang menyadari, sih? Oke, mungkin aku agak egois dan pengen diperhatiin. Tapi emang kalian nggak pernah ngerasa di posisi ini?

Ya, yaudah lah ya.

Hari mulai larut, kami memutuskan untuk segera pulang.

"Laras, kamu pulangnya gimana?" Aldi dengan sigap langsung bertanya.

"Oh, kayaknya aku pesen ojek online gitu, deh," Laras menjawab.

"Ngapain nanya-nanya sih, kan gaakan bisa nganterin Laras pulang juga," aku nyeletuk.

"Bisa jaga rahasia nggak sih," Aldi memajukan bibirnya. Ia kesal.

Semakin banyak waktu bersamamu
Semakin mahir ku menata rindu
Semakin banyak waktu didekatmu
Semakin paham ku apa doamu

(Adaptasi-Tulus)

Melewati banyak bulan, minggu, dan detik bersama Aldi, Laras, Clara, dan Dean membuatku sadar dan paham tentang karakter dan perasaan mereka.

Dari Aldi, bernama lengkap Muhammad Aldi Putra. Ia terlihat seperti takut kehilangan seseorang yang ia sayangi, kalau sampe orang ini melihat sisi buruknya dia, dia bakal panik banget. Padahal kan harusnya kalau saling menyayangi, harus terima sifat kita apa adanya, ya nggak?

Laras Syafiqa, perempuan mandiri dan tidak banyak bicara. Hingga saat ini aku nggak tau kekurangan Laras apa. Hal ini membuatku semakin insecure.

Clara Rachelia Putri, gadis cantik agak bule yang ikut-ikut aja, mudah meng-iyakan sesuatu tanpa di pikir terlebih dahulu, cantik sih tapi lemot banget kalau diajak diskusi.

Serta Deandra Aufa atau Dean, yang baru-baru ini dekat dengan kami. Jarang sekali ia bersekolah, bisa dihitung hanya dua kali dalam seminggu ia masuk. Walau begitu, ia sangat ramah dan baik. Aku beruntung mengenal Dean. Karena Dean, aku jadi paham kalau kita nggak bisa terus-terusan ambisius dalam sekolah, kita juga perlu main dan ngerasain hidup jadi diri kita sendiri. Dean mahir dalam bermusik pula.

MON MAAP GAJE BGT GATAU:(, MINTA SARAN DAN KRITIKNYA YA!🖤

KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang