Seharusnya setiap malam aku segera tidur dan bermimpi indah saja. Tapi bulan- bulan terakhir ini, sulit rasanya memejamkan mata tanpa memikirkan apapun. Jam sepuluh malam memang sudah berbaring di kasur, balik kanan ganti posisi, putar ke kiri menarik selimut, lalu kembali duduk. Sesaat kemudian berdiri mengambil earphone. Mau tidak mau, waktu tidurku hanya empat sampai lima jam saja. Sungguh, bulatan hitam di daerah mataku makin jelas.
Mata dan pikiran sangat sulit diajak kompromi. Rasanya ada saja yang perlu aku bahas dan belum terselesaikan hari ini. Apalagi semenjak mengenal perasaan diri sendiri pada Aldi, aku makin menghalu dan berandai-andai tiap malam. Bagaimana, ya rasanya diucapkan selamat tidur, atau mungkin dia datang bawa sebungkus nasi goreng untuk makan malamku. Iya, serius, rutinitasku tiap malam benar-benar berhalusinasi!
Sebenarnya aku masih bingung pada perasaan sendiri. Beginikah rasanya menyukai oranglain? Ya ampun, aku benar-benar perlu orang untuk diajak diskusi. Tapi kalau memang ini rasanya menyukai seseorang, perlu berapa lama lagi untuk Aldi menyadari perasaanku? Satu hingga dua tahun? Atau satu dasawarsa? Apa menunggu hingga nanti aku sudah jadi milik orang lain? Begitukah?
Oh tidak-tidak, jangan sampai, mana bisa aku merelakan diriku untuk oranglain selain dirimu. Apa jangan-jangan aku ini individu yang susah ditebak? Eh, bisa jadi malah kamu yang tidak peka. Aduh, harus bagaimana lagi! Menyatakan perasaan ku langsung pada dirinya? Makin bodoh. Menyuruh Clara menjodohkanku dengan Aldi? Gadis macam apa. Lantas harus bagaimana..
•••
"Woy melamun terus, kenapa?" tanya Aldi yang tiba-tiba saja muncul dari bilik pintu kelas.
Keadaan kelas pagi ini sangat kosong, ditambah sinar mentari yang masuk lewat celah jendela yang langsung menyinari wajah Aldi. Aku memang sengaja datang paling pagi karena harus mengembalikan buku perpustakaan, bukan karena ingin menatap cahaya ilahi diwajahnya.
"Mau mati rasanya! Jangan ngagetin begitu, dong!" balasku kesal.
"Iya, maaf. Mau tahu nggak ada kejadian apa malem tadi?" tanyanya dengan wajah yang mulai bersemangat.
"Apaan?" cetusku santai.
"Semalam aku nembak Laras," ucapnya gelagapan, "ya walau lewat pc sih."
"HAH?"
Bagai ribuan balon meledak di ruangan, jantungku sudah hampir tak berdetak. Tidak tahu harus senang atau sedih, harus berucap selamat pada Aldi atau turut berbelasungkawa pada diri sendiri.
Kalau harus dideskripsikan lewat imajinasi, ingin rasanya kubunuh Laras dihari pertama masuk sekolah. Lewat racun yang kutaburkan pada bekal makannya. Pilihan lainnya, kucegat dia diperempatan jalan rumahnya. Setelah itu, kusogokkan pisau kecil di lehernya, mengancam agar ia pindah sekolah, atau malah langsung menusuk lehernya. Kemudian ia batuk dan mengeluarkan gumpalan darah berwarna sedikit gelap dari mulutnya, setelah itu kutinggalkan ia begitu saja terpapar lemas tak berdaya di jalanan.
Oh tidak, itu menyeramkan.
"Lalu ... diterima?" tanyaku dengan intonasi suara yang rendah. Seperti berhati-hati dengan pertanyaanku sendiri.
"Jelass, siapa yang nggak mau coba sama aku," jawabnya.
"Ewh," cetusku sambil membuang muka. Kepedeannya meningkat seribu persen. Aku tidak mau mengucapkan selamat atau meminta pajak jadian kepadanya. Benar-benar pengen pulang saja secepatnya.
Aku terlambat. Aldi yang harusnya milikku kini milik teman sekelasku? Bercanda?
Lagi-lagi aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku sendiri. Mataku seperti tak kuat menahan sesuatu di dalamnya. Jantung atau.. hatiku, ya? Pokoknya seperti ditusuk puluhan belati. Aku seperti terluka dalam imajinasi, bagai direngkuh nyawaku oleh malaikat.
Aku permisi izin ke toilet. Melihat tangan dan wajah, lalu ke bilik kamar mandi memeriksa bagian yang tertutup seragam sekolah. Sepertinya tak ada luka memar atau luka yang muncul, tapi sungguh, ini jauh menyakitkan dari apapun. Tapi dimana lukanya? Mengapa ia tak tampak?
Beginikah definisi luka tanpa darah dan tangis tanpa suara?
KAMU SEDANG MEMBACA
KLANDESTIN
Teen Fiction"Harusnya dari awal aku tahu, kamu nggak pernah suka atau tertarik sama aku. Tapi kenapa setiap natap mata kamu, seolah bikin aku tenang dan merasa aman?" Kamu buat aku mengerti apa rasanya dicintai, kamu juga yang buat aku paham apa rasanya dikhian...