BAB V

58 16 8
                                    

Sudah hampir satu tahun sekelas, aku dan Aldi nggak pernah merasakan lebih dari sekedar teman. Makan bareng di warung bu Iko, ditraktir cilok depan gerbang sekolah, atau pulang dan berangkat sekolah bareng, itu hal yang wajar dilakukan seorang teman, bukan?

Terkadang, Aldi harus rela pulang terlambat karena aku memelas untuk ditunggu sampai ekstrakurikuler paskibraku berakhir. Bisa sampai tiga jam Aldi menungguku di kelas. Tapi ia tak pernah marah atau menolak. Ia juga rela mengantarkan makanan kesukaanku kalau ibuku nggak ada di rumah.

Aldi jago masak, berbeda denganku, masakannya selalu enak-enak. Ayam bakar ala Aldi, sup krim jagung, dan perkedel kentang adalah menu favoritnya. Berbeda dengan remaja SMP lainnya, Aldi lebih suka menghabiskan waktu di dapur, membantu ibunya memasak, lalu kembali ke kamar dan membaca novel horror kesukaannya.

Aku dan Aldi menyukai penulis yang sama. Risa Saraswati. Kalian pasti tahu, bukan? Risa dikenal dengan kemampuan supranaturalnya yang mampu berkomunikasi dengan mahluk gaib. Ia mulai menuliskan segala yang ia rasakan lewat tulisan, membuat pembacanya ikut masuk ke dalam dunianya. Dan lucunya, aku dan Aldi baru mengetahui kalau kami ternyata sama-sama suka Risa akhir-akhir ini. Ketika aku membaca novel sunyaruri di kelas. Tanpa membutuhkan waktu lama, ia langsung saja bertanya padaku.

''Kamu suka Risa juga?'' tanyanya antusias.

"Ya, kamu tahu dia?" buru-buru aku mengalihkan pandanganku dari novel ke wajah Aldi.

"Tentu saja! dia penulis kesukaanku. Wah kita memiliki idola yang sama lagi," cetusnya bersemangat.

Aldi selalu menyukai hal yang aku suka. Ini kebetulan atau takdir aku tidak pernah tau. Semesta selalu punya cara buat bikin obrolan aku dan Aldi menjadi lebih nyambung, lebih satu frekuensi.

Dari situ, kami jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Saling memberi kabar kapan novel terbarunya teh Risa akan terbit, hingga mengunjungi meet & greet yang diadakan beliau. Sampai akhirnya teh Risa jauh lebih terkenal dari yang kami kira. Satu kelas mulai mengetahui Risa Saraswati, semuanya tidak lagi seru ketika idola kita ternyata di idolakan banyak orang. Benar begitu?

Namun tetap saja, sebagai fans yang baik, aku dan Aldi tetap mengikuti perkembangan karyanya. Kami menonton seluruh filmnya yang tayang di layar lebar, tapi tidak pernah sekalipun menonton berdua. Aku lebih sering menonton bioskop dengan teman satu ekstrakurikuler, dan Aldi lebih suka menonton bersama keluarganya.

"Kamu tahu? Ananta Prahadi akan segera di filmkan!" ucap Aldi tiba-tiba ketika aku sedang mengerjakan tugas biologi di kelas.

"Ha? Siapa itu? Aku nggak pernah denger, tuh," aku menambahkan namun masih fokus dengan tugasku.

"Astaga, itu novel teh Risa, satu-satunya novel karyanya yang tidak bergenre horror, tapi romantis," ucapnya menjelaskan.

"Oh, ya? Kupikir ia hanya menulis yang horror-horror saja, kamu punya novelnya? Boleh ku pinjam? Please.." aku melepaskan pulpen dari genggamanku dan langsung menatap Aldi.

"Tentu saja, hari ini mampirlah ke rumahku untuk ambil novelnya,'' ucap Aldi. Ia memiliki satu rak penuh novel-novel bergenre horror maupun thriller.

Ternyata hujan turun cukup deras hari ini. Sialnya, aku nggak bawa payung atau jaket. Kami menunggu angkutan umum di depan gerobak cilok. Tidak banyak siswa saat ini karena aku dan Aldi pulang lebih terlambat, karena menungguku ekstrakurikuler.

Namun tiba-tiba saja, seseorang disampingku membuka payung berwarna abu-abu polos dengan lebar, mengangkat payung itu ke atas, menutupiku dari rintikan air hujan.

"Aku alergi dingin, nggak bisa kalau nggak pake jaket," kata Aldi.

"Iya aku tahu, nggak apa-apa, pakai saja jaketmu. Makasih, ayo kita pulang," sisi bahu kananku dan sisi bahu Aldi terkena air hujan. Beberapa orang melirik ke arah kami. Mungkin aku dan Aldi menarik perhatian karena satu payung kecil digunakan untuk kami berdua.

Benar saja, di angkutan umum, Wajah Aldi memerah dan bentol-bentol besar bermunculan. Kacamatanya berembun, rambutnya basah walau sudah pakai kupluk.

"Mana tanganmu," ucapku.

Aldi menyerahkan tangan kanannya, kedua tanganku menggapainya, lalu menutupnya erat-erat.

"Sudah agak mendingan?" kataku.

Aldi menggangguk, mengucapkan terimakasih.

****

Sampai depan komplek rumah Aldi, hujan sudah reda. Aku dan Aldi turun dari angkot. Wajahnya sudah nggak memerah dan tangannya suhu tangannya sudah kembali normal.

"Ayo masuk, aku ambil novelnya," kata Aldi.

"Ya," kataku singkat sambil memainkan gawai.

Buku bersampul seorang wanita dan dua orang pria terpampang jelas disana. Satu pria menggunakan kaos lusuh, dan satu lagi menggunakan jas lengkap dan rapi. ANANTA PRAHADI tertulis besar sebagai judul bukunya, tak lupa nama Risa Saraswati ada di bagian bawah buku.

"Malam ini kuselesaikan bacanya," aku mengambil buku itu dari tangan Aldi.

"Minggu depan ku ajak kamu nonton," Aldi menunjukan celengan gambar babinya, lalu menepuk-nepuk celengannya.

"Eh?"

"Aku punya cukup uang dan cukup waktu buat bareng sama kamu,"

KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang