BAB 1 - Dingin

14 1 1
                                    

Umi POV.

“Mas, mau sarapan apa? Biar Umi buatkan”
aku meletakkan pakaian kantor Mas Abi di ranjang kamarnya. Kulirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan tubuhnya.

“Terserah apa saja” jawabnya singkat dan langsung menutup kamar mandi kembali setelah mengambil pakaian kantornya.

Aku mendesah pelan dalam hati, ini sudah 3 hari dan dia tampak tak begitu ingin padaku.

Sekelebat pemikiran buruk itu segera kutepis jauh-jauh dari lubuk hatiku, bagaimana mungkin aku bisa berpikiran begitu kepada suamiku sendiri.

Ku langkahkan kakiku menuju dapur dan menyiapkan nasi goreng sosis kesukaan Mas Abi, itu yang kutau dari Ibu Mertuaku dulu saat aku menemaninya di rumah sakit.

Dia banyak bercerita tentang Mas Abi, apa yang disukainya dan apa yang dibencinya.

Ahh aku begitu merindukan Ibu, kurasa aku harus mengunjungi Ibu besok pagi.

Saat sedang berkutat dengan pisau dapurku, tiba-tiba saja seseorang menelpon, segera saja kuraih handphone yang kuletakkan di atas meja makan.

Assalamualaikum…” salam seseorang di seberang sana.

Waalaikumsalam Bu, ada apa nelpon Umi pagi-pagi?” tanyaku kepada Ibu kandungku, barang kali saja ia rindu pada anak perempuan satu-satunya ini. Atau sengaja ingin menggodaku lagi seperti 3 hari yang lalu di pesta pernikahan.

“Tidak apa-apa sayang, Ibu cuma mau ngecek, barang kali kamu masih tidur dan lupa menyiapkan keperluan suamimu” jawab polos Ibuku.

Aku terkekeh mendengar ujaran Ibuku barusan, ia memang sedikit mengkhawatirkanku akhir-akhir ini, khawatir akan diriku yang tak bisa menyenangkan suamiku dan khawatir akan banyak hal lainnya tentang hubungan kami.

Ahh, Ibuku memang begitu perhatian.

“Tenang saja Bu, Umi udah bangun sebelum Shubuh tadi, ya walaupun Mas Abi yang membangunkan sebenarnya” kekehku sambil meletakkan 2 piring nasi goreng sosis yang bersandingan dengan 2 gelas susu di meja makan.

“Syukurlah, Ibu bahagia kamu memiliki suami seperti Abi, dia yang akan menuntun kamu menjadi lebih baik. Ibu percaya padanya nak, kamu juga harus begitu. Jangan pernah menyusahkan suamimu dengan tingkah manjamu itu” ujar Ibuku yang lebih terdengar seperti perintah.

Aku menoleh ketika mendengar langkah kaki seseorang mendekat, Mas Abi baru saja datang dengan setalan formalnya yang baru tadi pagi kusetrika itu.

“Ya Allah, betapa sempurnanya ciptaanmu dihadapanku ini” batinku sambil terus memandang kearahnya tanpa berkedip.

Ia sungguh tampan dengan setelan hitam ini.

“Umi, apa kau mengabaikan Ibu?” suara seseorang di handphone menyadarkanku.

“Ahh I…ini Bu, Mas Abi baru saja datang ke meja makan” jawabku setalah lamunan sesaatku terbuyarkan oleh suara Ibuku barusan.

Biar saja aku memandangnya dengan lama, toh aku tak akan berdosa bukan?

“Benarkah? Bisa kau berikan handphonemu padanya?” tanya Ibuku, suaranya terdengar begitu antusias.

“Tentu Bu” Aku memberikan handphoneku kepada Mas Abi yang baru saja menyesap susu coklat ditangannya.

Ia menaikan sebelah alisnya, seolah mengatakan pertanyaan “Ada apa?” kepadaku.

“Ibu ingin berbicara” ujarku padanya.

Langsung saja ia mengambil handphone berwarna putih itu dari tanganku dan mengelap ujung bibirnya yang sedikit kotor akibat susu coklat tadi dengan serbet.

“Iya Bu, ini Abi” ujarnya setelah membesarkan volume panggilan.

“Abi, apa keadaanmu baik-baik saja nak?” tanya Ibuku terdengar khawatir.

Ia tadi bahkan tak menanyakan kabarku seperti itu. Huhh aku sedikit kesal.

“Abi baik-baik saja Bu, bagaimana dengan Ibu?” tanya balik suamiku.

“Ibu sangat baik nak, sangat baik. Ngomong-ngomong apa Umi merepotkanmu Abi?” Ibuku berujar frontal sekali, ya ampun aku merasa bagaikan Mas Abi lah anak kandungnya di sini.

“Tidak Bu, dia tak merepotkan sama sekali” jawab Mas Abi tersenyum manis sambil sedikit terkekeh mendengar ujaran Ibuku.

“Ahh syukurlah, Ibu khawatir jika anak manja itu menyusahkanmu, dia tentu belum begitu siap untuk menjadi seorang istri dengan perjodohan kalian yang begitu mendadak ini, Ibu mohon tolong maklumi hal itu, dia masih belajar” seru Ibuku di seberang sana dengan nada khawatir yang khas sekali.

“Tentu Ibu, Di sini juga ada Bi Ririn yang akan membantu Umi” jawabnya.

“Iya nak, Ibu merasa lega sekarang. Baiklah, selesaikan sarapan kalian, Ibu tutup telponnya.

"Assalamualaikum” tutup Ibuku.

Waalaikumsalam” jawab Mas Abi, segera ia kembali menyerahkan ponsel itu kepadaku.

Wajahnya kembali datar, tidak seperti tadi saat dia menelpon Ibuku.

Sejenak keheningan kembali menyergapi kami.

“Mas, mau nambah?” tanyaku ketika melihat piringnya sudah hampir kosong.

“Tidak perlu, aku sudah kenyang. Malam ini, aku mungkin akan pulang larut malam. Jangan menungguku seperti sebelumnya. Aku berangkat. Assalamualaikum” ia segera meninggalkanku yang masih melahap nasi gorengku di meja makan.

Wawaalaikumsalam” jawabku lirih.

Ia selalu saja seperti itu. selalu saja meninggalkanku di kala aku masih membutuhkannya di sisiku.

Yang benar saja, ini baru 3 hari pernikahan kami dan Pak Direktur itu bahkan lebih memilih menghabiskan malam dengan berkas-berkas tebalnya itu ketimbang dengan istrinya sendiri.

Dia bahkan terlihat tak begitu senang ketika berdekatan denganku. Apakah aku tak begitu pantas untuknya?

Kuaduk-aduk asal nasi goreng itu dengan kesal, tak terasa butiran-butiran air mataku menetes dan masuk kedalam sana.

Aku menangis dalam diam dan tak mambiarkan siapapun menyadarinya.

Biar saja aku dikatai cengeng dan manja, ya aku memang begitu.

Aku bahkan iri pada tumpukan berkas yang lebih menarik perhatian suamiku dari pada diriku sendiri.

Ahh menyebalkan…
===

HOLLAAA...

Next Chapter bakal ada FlashBack ke hari pernikahan Abi dan Umi.

Penasaran?

Tungguin update selanjutnya ya...
Happy reading <3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang