PROLOG

233 71 19
                                    

Malam itu, Sabtu, 11 Desember, seorang pemuda dengan jaket hitam yang mengenakan airpods pada kedua telinganya, menatap langit yang kian menggelap. Angin halus bertiup, kala lelaki itu menutup pintu toserba, beralih meraih ranselnya yang ia geletakkan pada kursi di depan emperan.

Suara kendaraan yang berlalu-lalang menyeruak memasuki gendang telinganya. Lampu-lampu jalan tersorot menerangi kaki jenjangnya yang melangkah membelah jalanan malam.

Berisik.

Dingin.

Begitupula dengan isi kepalanya.

Netra legamnya menatap sinar rembulan, kala kepalanya ia dongakkan. Malam ini begitu terang, tidak seperti kemarin yang di naungi hujan deras sepanjang malam.

Genangan-genangan air di sekitar jalan masih tersisa, secara naluri lelaki itu menghindari setiap genangan yang dia lewati.

Sekala menghela napas pelan.

Lelaki jangkung berusia 16 tahun itu menatap sayu ke arah pintu coklat besar yang menjulang tinggi. Bahunya pegal karena seharian bekerja part-time di sebuah toserba atau minimarket.

Pintu terbuka ketika Sekala mendorongnya pelan setelah mengucap salam. Namun, tak ada hiruk pikuk suara yang menyahut.

Menipiskan bibir sesaat, lagi lagi Sekala tersadar, bahwa lelaki itu—

Sendiri. Lagi.

Sekala membuang napas lelah, kakinya melangkah lebar menuju lantai atas, tempat kamarnya berada.

Pintu berwarna putih itu terbuka pelan menimbulkan decitan kecil. Sekala segera menutup kembali pintu, lantas merebahkan punggungnya begitu saja diatas ranjang.

Nyeri.

Pun juga bagian hatinya.

Sekitar 10 menit matanya tak kunjung terpejam, Sekala hanya menatap awan awan kamarnya datar. Perasaannya kian kalut, hingga rongga dadanya ikut sesak.

Sekala terduduk, menatap lemari bercat hitam yang di penuhi sticker dan lukisan abstrak. Lelaki itu meneguk ludahnya pelan, beranjak menghampiri.

Tangannya terkepal, menahan diri untuk tidak membukanya.

Entah kenapa.

Kakinya justru beralih menuju balkon kamarnya, meraih sepuntung rokok dan pematik di saku celana.

Kemudian menyesapnya.

Hidup dengan nuansa kosong, nyatanya melelahkan.

Hatinya tak menentu, mencari tempat pulang. Raganya memberontak, ingin dilepaskan agar merasa bebas.

Namun semestanya tak menghiraukan. Membiarkan seonggok daging tak berdaya ini makin hancur tak karu-karuan.

Apa benar mimpinya ini bergantung pada masa kini?

Apa benar sejuta tekad tidak dapat menghunus takdir?

Nyatanya manusia adalah makhluk lemah yang hanya bisa meminta, memohon, dan bertekuk lutut pada-Nya.

Tuhan yang Maha Esa.

Namun, jika mimpi, harapan, dan kebahagiaan terhambat karena ulah orang dewasa—

—Lantas, apa peran orang dewasa selama ini?

Sekala membuang puntung rokoknya begitu saja, tubuhnya dengan mantap berbalik menuju lemari hitam itu. Jari kekarnya meraih kunci dengan bandul gitar, lalu mulai mencoba membuka pintu tersebut.

Cengkraman tangan yang memegang ujung pintu itu kian mengerat. Matanya menyorot dalam ke arah gitar elektrik yang terpampang dihadapannya.

Sekala meraihnya. Lelaki jangkung dengan dua lesung di pipinya itu termenung sebentar. Menghela napas kasar, lelaki itu menaruhnya pada kasur.

Tubuhnya kembali sibuk beralih meraih topi hitam dan masker hitam yang tergeletak di atas nakas.

Persetan dengan orang dewasa.

Dia bahkan tidak bisa percaya lagi dengan yang namanya takdir.

Dia hanya manusia. Hanya bisa berharap dan menerima.

Dia akan melakukan apapun yang ia mau selama hidup.

Sebelum dunia segera menghancurkannya lebih jauh.

Sialan. Tubuhnya bergetar, dengan segera meraih gitar tersebut kedalam tas lalu keluar dari rumah terkutuk itu.

.

Jauh dari ramainya sorak sorak penuh semangat, gadis yang masih dengan seragam lengkapnya itu membuka mulutnya terpana menatap seorang pemuda yang kini di kelilingi puluhan orang depan Coffee shop Glamour malam ini.

Lelaki itu dengan lincah menggerakkan jari jemari dan tangannya mengayun berirama pada gitar yang tersampir didepan tubuhnya.

Suara riuh tepuk tangan menggema diantara lautan manusia yang menikmati performa gratis di samping Jl. Cemara no 017.

Gadis itu tertoleh ketika bahunya ditepuk keras oleh temannya yang ia ajak keluyuran malam ini.

"Gila Kai! Hati gue ikut kegenjreng sumpah! Hadehh pusing deh cogan dimana mana!"

Kai tidak menghiraukannya. Matanya menyorot lekat ke arah lelaki bermasker hitam itu. Wajahnya terlihat serius, namun jelas guratan tipis dikedua matanya benar benar menggambarkan betapa menikmatinya tubuh itu ketika bermusik.

Tepat ketika jari itu berhenti menyelesaikan bait lagu dengan indah, tepukan tangan dari para penonton yang menyaksikan itu kian bergemuruh disepanjang jalan.

Sekala menghela napas lega. Kegelisahannya terbayar juga. Lelaki itu menatap banyaknya orang yang menyaksikan dirinya bermain gitar dengan sound yang sempat ia pinjam dari pemilik Cafe Glamour.

Hingga netranya berhenti pada satu sisi. Deretan tengah paling ujung sebelah kiri itu menyita atensinya.

Gadis dengan rambut tergelung asal asalan, bibir sedikit terbuka, menatapnya dengan mata berbinar.

Sekala tersentak.

Bukan karena ia mengenali gadis itu.

Melainkan—

—Seragam sekolah gadis itu. Seragam dengan logo khas SMA Kuncoro yang terletak pada saku sebelah dada kirinya.




Seragam sekolahnya.

.

Semesta terlalu suka bercanda, menghadirkan rasa tanpa aba aba. Juga meninggalkan luka tanpa jeda.

.

To be continue...

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang