Jakarta, Indonesia.
19.00 WIB.
Udara berubah dingin seiring langit bertambah mendung. Jalanan yang padat akan lalu-lalang kendaraan bermotor terasa lengang karena orang-orang memilih berteduh, sedangkan mereka yang memakai roda empat tetap melanjutkan perjalanan. Ibu kota, sibuk dengan segala macam aktivitas kehidupan selama dua puluh empat jam, hujan atau bencana alam tak membuat orang-orang berhenti mencari rupiah. Seakan, manusia di Ibu kota tergila-gila pada harta, berlomba-lomba mencari rupiah agar tidak mati kelaparan.
Hawa dingin seolah menusuk tulang seiring bertambahnya intensitas hujan. Kian deras dan memberi pertanda bahwa tidak akan reda dalam waktu dekat. Namun, pada sebuah restauran terjadi situasi yang memanas, seakan membakar restauran tersebut di tengah derasnya air hujan. Perdebatan antara dua orang itu semakin sengit, ekspresi wajah mereka diselimuti amarah dan saling mempertahankan ego masing-masing.
Shanaya terus membombardir pertanyaan kepada sang kekasih. Dari wajahnya tergambar rasa marah bercampur rasa sedih, tak menyangka bahwa kekasihnya telah berkhianat. "Apa lagi yang perlu dijelaskan, Axel!" teriaknya dengan segenap emosi. Tak kuasa menahan sakit hati hingga mengalirkan air mata.
Lelaki bernama Axel hanya diam di tempat, tak berbicara atau sanggup menjelaskan. Meski semua hanya salah paham, tapi akan sulit menjelaskan kepada orang yang tengah dilanda amarah. Dia memilih diam, menerima semua kosa-kata kasar yang ditunjukan padanya. Menatap nanar ke arah sang kekasih, ikut merasa sakit hati melihat kekasihnya menangis.
"Shanaya ... aku bisa jelaskan."
"Cukup, Axel! Aku tak mau mendengar apapun yang keluar dari mulutmu!" Ia membentak sang kekasih sambil kedua tangan menutup telinga.
"Tapi ...." Belum sempat Axel berbicara, tapi Shanaya kembali memotong ucapan. "Hentikan, Axel! Semua sudah cukup terlihat tanpa harus dijelaskan."
Pemuda itu bingung tak sanggup lagi berkata-kata. Mencoba menghampiri sang kekasih untuk memeluk, tapi usaha tersebut gagal karena kekasihnya menghindar dan berjalan mundur. Seakan jijik padanya. "Jangan mendekat, Axel!" tegas Shanaya dengan berurai air mata. "Aku mau hubungan kita berakhir!" Melangkah mundur perlahan seraya menghapus air mata.
"Tidak," tolak lelaki itu, "aku tidak ingin putus denganmu."
Shanaya tidak menggubris perkataan dari Axel, memilih berbalik arah dan berbicara pada temannya. "Delvan, bisakah kau mengantarku pulang?" Pemilik nama tersebut mengangguk cepat, segera menggandeng tangan Shanaya untuk pergi dari restauran. Tanpa memperdulikan tatapan membunuh dari lelaki yang ada di hadapannya.
Axel sendiri tak kuasa menahan kepergian sang kekasih, semua penjelasan darinya ditolak sepihak. Lalu, terduduk lemas di lantai restauran sambil menitikkan air mata. Kedua tangannya meremas rambut, menyesali perbuatannya malam ini. Ia harus mengejar Shanaya dan menjelaskan secara lengkap yang sebenarnya terjadi, tidak ingin sang kekasih salah paham serta memutuskan dirinya. Namun, aksinya tertunda oleh suara halus dan sentuhan lembut pada bahu.
"Axel, kau tidak apa-apa?" perempuan itu menunduk dan bersimpati pada Axel. Sorot matanya teduh serta terasa keibuan. Mencoba mencuri hati di tengah permasalahan.
Sang pemilik nama mengangguk, berdiri seraya merapikan pakaian. Mencoba melangkah untuk segera mengejar sang kekasih, tapi lagi-lagi langkahnya tertunda oleh sebuah suara. "Axel, jangan pergi. Aku takut pulang sendirian di tengah hujan deras." Perempuan itu memohon, membujuk rayu sembari merangkul lengan dari Axel. Ekspresi mukanya dibuat semanis dan sesedih mungkin agar usahanya berhasil.
Pemuda itu bingung, menatap pintu keluar dan temannya secara bergantian. Sebelum akhirnya memutuskan pilihan sembari membuang napas gundah. "Ayo ... ku antar kau pulang," jelasnya sambil melepaskan rangkulan tangan sang teman.
Gadis tersebut mengangguk tanpa tersenyum. Tak ingin terlihat bahagia dan lebih memilih pura-pura bersimpati. Selanjutnya, menarik tangan Axel untuk segera keluar dari restauran. "Ayo Axel, kita harus pulang secepatnya." Yang dibalas anggukan kepala.
...
Delvan dan Shanaya masih dalam perjalanan pulang. Mobil yang mereka kendarai melaju pelan akibat hujan deras. Dia mencoba menghibur sang sahabat sambil tetap fokus menyetir. Tidak ingin temannya terus menangisi laki-laki yang tak setia. "Shanaya ... jangan terus bersedih. Masih banyak laki-laki baik di luar sana."
Shanaya menoleh ke arah Delvan sembari mengangguk dan menghapus air mata. "Terima kasih, Delvan. Kamu memang sahabat yang baik." Namun, karena rasa sakit di hati yang terus menyiksa, kembali meneteskan air mata.
Delvan sendiri tersenyum masam selepas mendengar ucapan dari temannya. Ada perasaan sedih di hati tatkala hanya dianggap sebagai sahabat. Meski begitu, tidak boleh egois dan harus secara perlahan mengambil hati sahabatnya. Kemudian, mempercepat laju mobil agar segera tiba di tempat tujuan.
Tiga puluh menit berlalu, mereka sudah sampai di kediaman Shanaya. Delvan segera keluar dari mobil dan mengantar Shanaya sampai pintu gerbang, sekaligus meminta temannya untuk berhenti menangis juga bersedih. Selanjutnya, bergegas pergi karena malam semakin larut.
"Aku pamit, ya?" ucapnya sambil tersenyum manis.
Shanaya mengangguk ke arah Delvan. "Hati-hati di jalan, Delvan. Dan terima kasih." Sesudah itu masuk ke dalam pintu gerbang meninggalkan sang teman. Sementara Delvan mengulas senyum terakhir ke arah sahabatnya sebelum meluncur pergi.
....
Di tempat lain, Axel sudah selesai mengantarkan temannya pulang sampai rumah. Kemudian, bergegas menuju tempat tinggal Shanaya untuk menjelaskan segala macam kesalahpahaman. Raut mukanya kusut, ada rasa sedih juga kecewa yang bersumber dari hati. Tidak ingin kehilangan sang kekasih karena sangat mencintainya. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankan cintanya. Ia mempercepat laju mobil, tak ingin membuang waktu walau cuma satu menit.
Mobil yang dikendarai Axel melaju kencang di jalan raya. Tidak peduli hujan deras dan jalanan licin tetap terus menambah kecepatan, bahkan beberapa kali menerobos lampu merah demi segera tiba di tempat tujuan. Hingga pada perempatan lampu merah muncul sebuah truk berkecepatan tinggi. Axel kaget, menekan pedal rem sekuat tenaga agar terhindar dari kecelakaan. Mengakibatkan mobilnya tergelincir serta berguling di aspal sebelum terbalik. Sedangkan kondisinya terluka parah dengan sekujur badan berlumuran darah.
Bruuk ... druaak ... duaar
Kepala Axel terasa sangat sakit, pandangan matanya kabur dengan kondisi badan tak dapat bergerak. Ia mencoba berteriak meminta pertolongan, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Hanya mampu merintih pelan, berharap masih memiliki kesempatan untuk berjumpa dan meminta maaf pada kekasihnya.
"Shanaya ... maafkan aku." Sesudah itu semuanya menjadi gelap. Axel kehilangan kesadaran dan mengalami pendarahan hebat pada beberapa anggota badan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR (Logika Dalam Rasa)
Teen Fiction(19+) Ini bukan tentang kisah cinta jarak jauh, melainkan tentang logika dalam mencintai. *** Shanaya Kaifa adalah pelajar muda yang sangat giat juga tekun dalam belajar. Tergila-gila pada novel dan mengidolakan seorang penulis terkenal. Sekilas, hi...