Jakarta, Indonesia.
06.45 WIB.
Lima belas menit sebelum bel sekolah berbunyi, para siswa maupun siswi sudah berdatangan memasuki gerbang sekolah, kebanyakan dari mereka menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi, sisanya memakai angkutan umum. Salah satunya adalah Shanaya, yang baru saja turun dari angkutan umum dan bergegas masuk ke dalam sekolah. Namun, langkah gadis ini terhenti tepat di depan pintu gerbang akibat mendengar suara panggilan.
"Shanaya!" seru gadis berambut pendek sebahu. Berlari kecil menghampiri sambil tersenyum. "Selamat pagi ...."
"Pagi juga, Dina," balas halus Shanaya. Kemudian, segera mengajak sang teman pergi ke kelas. "Yuk ke kelas, keburu bel masuk."
"Tunggu sebentar!" ujar Dina cepat. Raut mukanya terlihat cemas, tanpa berbasa-basi lagi langsung menanyakan hal penting. "Apa kamu udah mengerjakan pr matematika?"
Shanaya mengangkat satu alis sambil mengerutkan kening. Tersenyum kecil sebelum memberi jawaban. "Tentu saja udah dong. Aku kan murid teladan." Berkata dengan sedikit membusungkan dada.
Sementara Dina hanya tersenyum masam. "Sombong ...," ejeknya. Lalu, meminta bantuan sang teman. "Aku boleh pinjam pr mu ya?"
Ia berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. Membuat Dina hanya dapat menahan napas kesal melihat tingkah temannya. Merasa tak ada pilihan lain, segera melayangkan bujuk rayu. "Mau ya? Nanti istirahat aku traktir jajan di kantin deh."
"Oke," sahut Shanaya cepat tanpa perlu berpikir panjang. Tidak akan menolak tawaran menggiurkan dari temannya. Sedangkan Dina hanya mendengus napas lemas. Menarik tangan Shanaya dan mengajaknya segera pergi ke kelas. Tidak ingin membuang waktu karena mata pelajaran pertama adalah matematika.
....
Tangan Dina bergerak cepat menyalin pekerjaan rumah dari buku temannya. Seolah sudah terlatih untuk menjiplak setiap tugas sekolah. Sementara si pemilik buku hanya duduk santai sambil kedua tangan menopang dagu, melamunkan hal tak jelas yang terlintas di benak. Namun, terpaksa berhenti melamun karena ditegur oleh seorang teman.
"Shanaya!" panggil orang itu dengan nada sedikit kasar. Membuat si pemilik nama dan Dina menarik pandangan cepat.
"Ada apa, Rosi?" tanyanya heran. Karena walau menjadi teman satu kelas, tetapi tidak terlalu akrab dengan gadis bernama lengkap Rosiana Dewi.
"Ayo ikut aku bentar!"
"Kemana ...?" tanya Shanaya sekali lagi.
Namun, pertanyaan darinya tidak mendapatkan jawaban, karena Rosi telah berjalan keluar kelas tanpa memberi penjelasan. Shanaya yang penasaran segera berdiri dan mengekor dari belakang tanpa ingin tertinggal langkah. Dina pun ikut penasaran, tapi lebih banyak merasakan ancaman bahaya. Langsung memperingatkan temannya untuk waspada. Pasalnya, sangat tahu watak atau karakter dari Rosi. Takut apabila perempuan itu melukai sahabatnya.
"Shanaya," lirihnya, "Hati-hati." Yang dibalas anggukan kepala dari empu nama.
...
Gadis berambut hitam kecoklatan ini masih mengikuti Rosi tanpa berani bertanya atau berbicara. Memilih menyimpan rasa penasaran hingga akhir, tapi mempunyai dugaan bahwa sedang menuju tempat toilet perempuan. Dugaan Shanaya tepat, karena Rosi berhenti berjalan ketika sampai di depan pintu toilet. Berbalik arah dan menyuruhnya untuk masuk terlebih dulu. Saat itulah dirinya merasakan bahaya, hendak pergi serta berlari menjauh. Namun, usaha tersebut gagal karena Rosi lebih dulu menarik kasar pergelangan tangannya dan menyeretnya paksa masuk ke dalam toilet.
"Rosi!" pekik Shanaya. Meronta-ronta dengan mimik wajah ketakutan. "Apa-apaan kau ini!"
"Diam!" tegas gadis itu. Bibirnya menyeringai lebar serta sorot mata tajam. Tak menggubris rintihan dari temannya, tetap menarik paksa masuk ke dalam toilet. Seolah tidak perlu takut kalau ada yang melihat atau melaporkan perbuatannya kepada guru atau pihak sekolah.
Rosiana Dewi adalah teman satu kelas Shanaya. Wajahnya tergolong cantik juga manis. Ditambah memiliki badan langsing dengan tinggi kira-kira 164cm. Dia adalah cucu pemilik yayasan, jadi suka bertingkah sembarangan dan semena-mena, terlebih pamannya yang menjabat sebagai kepala sekolah. Banyak hal yang menyebabkan dirinya membenci Shanaya, salah satunya karena teman satu kelasnya itu selalu menempati rangking pertama.
Brukk!
Shanaya terjatuh setelah masuk ke dalam toilet. Lututnya terasa sangat sakit akibat membentur lantai keramik. Namun, hal yang lebih mengejutkan adalah terdapat dua gadis lain menunggu di dalam toilet, merupakan teman satu kelasnya dan sahabat Rosi. Ia memandang ketiga orang tersebut secara bergantian dengan penuh rasa takut. Lalu, mencoba berdiri sembari menahan rasa sakit pada bagian lutut, bertanya secara halus juga hati-hati. Pasalnya, merasakan ancaman bahaya begitu besar.
"Ada apa, Rosi? Kenapa kamu membawaku ke sini?"
Rosi tidak menjawab pertanyaan tersebut, malah mendorong tubuh Shanaya hingga membentur tembok. Kemudian, mencekik leher gadis itu sampai kesulitan bernapas. Sementara kedua temannya hanya memperhatikan dari belakang seraya terkekeh. Seakan melihat pemandangan atau kejadian yang menyenangkan. Setelah beberapa detik, dia mengendurkan cekikan pada leher Shanaya sambil tetap menyorot tajam.
"Jauhin Vino!" ancam gadis berambut hitam panjang. "Atau kau akan merasakan lebih buruk dari ini!" Diikuti gerakan tangan melepaskan cekikan. Sesudah itu mengajak kedua temannya berjalan keluar dari toilet. Meninggalkan teman satu kelas mereka sendirian.
Shanaya sendiri terduduk lemas di lantai toilet, merasa pusing juga mual akibat kekurangan oksigen. Wajahnya sangat pucat dipenuhi butiran keringat, ditambah ketakutan dengan yang baru saja dialami. Tanpa sadar mengalirkan air mata dan menangis, meski begitu belum memahami perkataan dari Rosi. Pasalnya, sama sekali tidak memiliki hubungan khusus dengan Vino, yang merupakan pacar dari Rosi. Selanjutnya, mencoba berdiri sambil merapikan pakaian dan menghapus air mata. Bersikap kuat juga tabah seperti yang diajarkan sang ayah. Berjalan keluar dari toilet seperti tidak terjadi apa-apa.
...
"Mana Shanaya?!" ujar Dina lantang setelah melihat Rosi kembali ke kelas bersama dua temannya, bukan Shanaya. Segera berdiri dan menghampiri gadis bertinggi 164cm itu. Lalu, sekali lagi melayangkan pertanyaan. "Katakan di mana Shanaya?!" Suara kerasnya membuat semua pandangan tertuju padanya. Namun, tak peduli karena lebih mengkhawatirkan keberadaan temannya.
Rosi hanya memberikan tatapan sinis seraya mengangkat kedua bahu tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berlalu pergi melewati Dina seakan orang itu tak ada di hadapannya. Sedangkan Dina terlihat sangat kesal dengan raut muka berubah garang dan sorot mata tajam. Meski begitu tetap tidak berani melawan Rosi, memilih pergi keluar kelas guna mencari Shanaya. Langkahnya terhenti akibat bel masuk berbunyi, diikuti langkah masuk seorang pria paruh baya yang merupakan guru matematika.
Ia semakin cemas juga gelisah, sebab Shanaya masih belum kembali ketika mata pelajaran pertama akan dimulai. Namun, semua perasaan tersebut sirna tatkala melihat sang teman berjalan pelan memasuki kelas. Dina bersyukur dalam hati, tapi muncul rasa penasaran saat melihat wajah temannya diselimuti kesedihan.
"Ada yang gak beres," gumamnya dalam hati.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR (Logika Dalam Rasa)
Roman pour Adolescents(19+) Ini bukan tentang kisah cinta jarak jauh, melainkan tentang logika dalam mencintai. *** Shanaya Kaifa adalah pelajar muda yang sangat giat juga tekun dalam belajar. Tergila-gila pada novel dan mengidolakan seorang penulis terkenal. Sekilas, hi...