Tumpangan Gratis.

106 7 0
                                    

Assalamualaikum Wr. Wb.

Halo Readers ...
Bantu saya menyelesaikan cerita ini dengan cara menekan tanda bintang dan meninggalkan komentar.

Terima kasih dan selamat membaca ...

***

14.30 WIB.

Shanaya Kaifa memilih pulang dengan berjalan kaki untuk mengembalikan suasana hati. Tanpa peduli jarak sekolah dengan rumahnya lebih dari lima kilometer. Gadis ini terus melangkah di bawah terik sinar matahari sambil memikirkan masalah, pasalnya, tuduhan Rosi hanyalah kesalah pahaman. Ia bingung, tidak menemukan solusi, terpaksa harus menemui Vino guna meminta temannya itu menjelaskan kebenaran.

"Sepertinya aku tidak punya cara lain, harus segera menemui Vino secepatnya." Ia bermonolog dalam hati.

Tiba-tiba terdengar bunyi keras klakson mobil, membuatnya terkejut hingga berhenti melamun, secara refleks langsung menoleh ke belakang. Melihat mobil BMW hitam berhenti tepat di sampingnya, tanpa menunggu lama sang pengemudi mobil melangkah keluar.

"Hai, Shanaya!" sapa teman satu sekolahnya seraya berjalan menghampiri.

"Delvan!" pekik Shanaya. Kaget serta tidak menyangka bahwa yang mengendarai mobil tersebut adalah temannya. "Kamu bawa mobil?!" Yang dibalas anggukan kepala serta senyuman. "Iya."

"Ohh iya, gimana kalau ...." Belum sempat pemuda itu menjelaskan maksud ucapan tetapi sudah dipotong oleh Shanaya. "Tidak, terima kasih."

"Tapi ... tapi ...." Delvan kebingungan membujuk Shanaya agar pulang bersamanya. Dia pun mengembuskan napas lemah, menyerah dan berpamitan meninggalkan Shanaya.

"Ya sudah ... aku duluan." Berjalan lesu masuk ke dalam mobil. Sementara Shanaya hanya tersenyum kecil sambil melambaikan tangan. Sesudah itu kembali berjalan pulang.

....

Sudah hampir satu jam terlewat, mulai dilanda lelah juga rasa menyesal akibat menolak tawaran dari Delvan, terlebih sinar matahari terasa begitu terik dan menyengat kulit. Ditambah sudah bermandikan keringat, sehingga membasahi seragam yang dikenakan. Lalu, memilih beristirahat sejenak di halte sembari mengatur napas dan menghapus peluh pada wajah. Naas, setelah lima belas menit berlalu tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat, menjadikan dirinya mulai dirundung rasa gelisah. Takut apabila terlambat pulang dan terkena caci-maki sang bunda.

"Haduuuh ... pasti bunda nanti sangat marah." Shanaya berbicara dalam hati.

Ia semakin cemas, memutuskan berhenti beristirahat dan segera kembali melanjutkan perjalanan. Namun, baru dua meter melangkah telinganya mendengar bunyi klakson. Segera berbalik arah dan berharap itu Delvan. "Delv ...." Dugaannya salah, karena yang berhenti di dekatnya adalah seorang pria yang mengendarai sepeda motor matic. Shanaya takut, terlebih sering melihat berita kriminal di televisi. Sekelebat bayangan melintas di benaknya dengan judul, 'seorang siswa perempuan diperkosa oleh pria tak dikenal'.

....

"Mau ke mana?" tanya Dennis saat melihat temannya beranjak dari tempat duduk. Sementara Axel hanya menoleh sekilas sambil tersenyum simpul sebelum berjalan menjauh. "Pulang," jawabnya.

"Titi dj," seru pemuda pemilik kafe yang dibalas lambaian tangan dari pemuda berwajah kusut.

Sesaimpainya di luar kafe, pemuda bertubuh tinggi 170cm ini langsung merentangkan kedua tangan seraya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Lalu, menguap lebar sesaat sebelum berjalan pergi menuju tempat parkir, setelah itu segera tancap gas dari lokasi. Axel mengendarai sepeda motor dengan kecepatan normal, sekitar empat puluh sampai lima puluh kilometer per jam. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan hiruk-pikuk aktifitas manusia. Hingga dua bola matanya tertuju pada pelajar sekolah yang berjalan kaki sendirian. Merasa iba, akhirnya menawarkan tumpangan.

Tiiin ...

Tiiinn ...

Axel membunyikan klakson sepeda motor sekaligus menepi. Kemudian, menyapa secara sopan. "Mau saya antar pulang?" Membuat pelajar SMA itu menengok dengan raut muka ketakutan.

"Ttti ... dak," jawab pelajar perempuan itu terbata-bata. Takut juga curiga akan tawaran dari sosok tak dikenal. Lalu, segera kembali berjalan, tetapi lagi-lagi tertunda oleh suara bariton.

"Tunggu!" ujar Axel sembari melepas helm dan membuka masker. Menunjukkan wajahnya agar gadis itu tidak takut padanya. "Aku bukan orang jahat atau laki-laki mesum."

Untuk sesaat, dirinya terpana tatkala melihat wajah tampan pemuda itu. Terdiam beberapa detik sebelum kesadaran kembali mengambil alih. Shanaya bingung juga gugup untuk menjawab, sebab degup jantungnya tak berirama. "Anu ... anu ...." Sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

Sedangkan Axel hanya melempar senyum kecil, tanpa tahu bahwa senyumannya membuat gadis itu meleleh. Kemudian, bergerak turun dari sepeda motor serta menarik tangan Shanaya secara lembut. "Rumah kamu daerah mana?" tanyanya sopan.

Shanaya yang masih syok juga bingung tanpa sadar lekas membonceng, berpegangan erat seakan takut terjatuh. Dia tak mampu berbicara, karena jantungnya seakan mau meledak. Hanya dapat menganggukkan kepala sebelum memberi tahu alamat rumahnya. Tanpa membuang lebih banyak waktu mereka melenggang pergi.

Perjalanan keduanya sangat hening tanpa topik pembicaraan. Axel lebih fokus mengemudi, sementara Shanaya terlalu malu untuk memulai pembicaraan, memilih diam dan berdebat dengan isi hatinya. Tiga puluh menit berlalu, keduanya sudah tiba di tempat tujuan, berhenti tepat di depan rumah yang berukuran besar juga luas. Axel tak menyangka kalau ternyata perempuan yang diantarnya berasal dari keluarga kaya, tetapi juga dirundung rasa bingung sebab gadis itu memilih menggunakan kendaraan umum. Lalu, mempersilakan sang gadis turun dari sepeda motor.

"Turunlah, kita sudah sampai."

"Aaah iya," ucap Shanaya gugup sambil melepaskan pegangan. Entah lupa atau terlalu menikmati perasaan, hingga merasa pipinya bersemu merah. Segera turun dari sepeda motor dan berterima kasih. "Terima ka ...." Belum sempat menyelesaikan kata-kata tetapi pemuda itu sudah melenggang pergi tanpa pamitan. Seketika baru sadar bahwa pemuda yang mengantarkan pulang adalah laki-laki sama yang ditemui di toko buku.

"Tunggu!" Ia berteriak kecil. Namun, sudah terlambat karena sosok itu telah jauh dari pandangan. Shanaya merasa sangat penasaran sekaligus senang, karena perasaannya sedang berbunga-bunga.

....

Delvan berada di kafe, menghabiskan sore bersama teman-temannya. Namun, sedari tadi dia hanya diam, tidak ikut berbincang, seolah ada masalah berat yang tengah melanda. Hal tersebut ternyata membuat salah satu temannya penasaran dan memutuskan membuka suara.

"Hei, kawan. Ada apa?" tanya laki-laki berwajah tengil dan bersikap sok asyik.

"Tidak ada apa-apa," balasnya datar. Tanpa ingin menceritakan masalah, entah karena malu atau ragu.

"Aaah paling masalah Shanaya," tebak temannya yang lain. Kali ini membuat mata Delvan membulat karena tebakan tersebut benar.

Ya, Delvan sedang berpikir keras agar Shanaya mau menjalin kisah lama. Segala upaya sudah dilakukan tapi tak jua memanen hasil, malah kini dirinya dan Shanaya semakin jauh. Ia bingung, harus bagaimana lagi membuat sang mantan kekasih kembali padanya.

"Delvan," ujar salah satu temannya. Tersenyum kecil sebelum lanjut berbicara. "Aku memiliki ide." Kalimat itu berhasil menarik perhatian pemilik nama. Lantas bertanya. "Apa idemu?"

Orang tersebut tersenyum licik ke arah Delvan. "Jadi gini ...."

****

Hai semuanya ...
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa mempromosikan cerita ini dan membagikan kepada teman-teman
Terima kasih
Sampai jumlah di part berikutnya ...

LDR (Logika Dalam Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang