Bab 1. Pemakaman.

437 13 11
                                    

Assalamualaikum Wr. Wb.

Halo Readers ...
Saya kembali dengan cerita baru setelah sekian lama vakum.
Bantu saya menyelesaikan kisah ini dengan cara menekan tanda bintang dan meninggalkan komentar.

Matur suwun dan selamat membaca.

****

Jakarta, Indonesia.

10.30 WIB.

Cuaca siang sedikit mendung, pertanda air dari langit akan segera turun. Orang-orang berbaris rapi, dengan raut muka serupa dan pakaian seragam. Afriani Lestari, namanya terpahat pada batu nisan beserta kenangan yang terukir di benak juga hati. Usia dua puluh empat tahun terbilang muda, akan tetapi, takdir berkata lain. Setelah sekian tahun melawan derita atau penyakit, akhirnya melambaikan tangan sebagai simbol menyerah dan menghadap Sang Kuasa. Tak sedikit dari para pelayat yang menangis, menitikkan air mata melihat jasad perempuan itu mulai dikebumikan. Diakhiri dengan doa agar tenang di peristirahatan alam baka.

Dari sekian banyak pelayat, terdapat satu orang yang sangat sedih. Wajahnya pucat berlinang air mata serta tatapan sayu memandang batu nisan. Hatinya terasa begitu sakit seakan dirobek perlahan memakai pisau belati. Dia bukanlah orang spesial, tapi seseorang yang dimakamkan sangat istimewa baginya. Tak sanggup menghentikan air mata yang terus mengalir, memilih angkat kaki dari pemakaman dengan beribu kesedihan. Menoleh ke belakang untuk terakhir kali sebagai simbol penghormatan akan perpisahan abadi. 

Semoga kamu tenang di alam sana, Afriani.

....

Seorang gadis duduk di teras rumah setelah membersihkan diri dan berganti pakaian. Merogoh  handphone dari saku baju serta memainkannya, mengecek satu persatu kontak untuk dihubungi. Namun, belum sempat dia mengirim pesan sudah ada yang menegur dirinya, mengingatkan untuk belajar.

"Shanaya ... jangan main handphone mulu. Belajar sana!"

Gadis bernama Shanaya menoleh seraya menjawab. "Iya Bunda." Setelah itu memasukkan handphone ke saku baju dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ketika sudah sampai di kamar, segera membuka buku dan menghafalkan materi pelajaran.

Shanaya Kaifa adalah gadis muda berumur tujuh belas tahun. Mempunyai wajah cantik bagai selebgram, ditambah bentuk tubuh proposional dengan tinggi sekitar 165cm. Rambutnya berwarna cokelat kehitaman, lurus serta panjang hingga punggung. Ia merupakan tipe orang yang giat belajar demi mencapai cita-cita, semua dilakukan karena paksaan dari sang bunda. Tidak ingin mengecewakan keinginan serta harapan orang tuanya. Gadis ini berhenti menghafal, memejamkan mata untuk mengingat kejadian yang ada di pemakaman. Tanpa sadar bahwa pintu kamar tidak tertutup rapat.

Flashback On.

Shanaya hadir di pemakaman bersama sang ibu. Menatap nanar batu nisan dengan raut muka sedih. Teringat kenangan bersama kakak sepupunya. Baginya, Afriani bukan sekedar sepupu, melainkan teman sekaligus tempat berkeluh kesah. Ia ingat saat kakak sepupunya selalu memberi uang, selalu membela serta melindungi dirinya dikala sang bunda memarahi. Semua kejadian itu membuatnya menangis tersedu-sedu tidak rela kehilangan Afriani.

Kedua tangannya bergerak menghapus air mata. Lalu, mengedarkan pandangan untuk melihat semua pelayat, hingga fokus matanya berhenti pada seorang laki-laki. Pernah merasa melihat atau sekadar bertemu dengan sosok tersebut, tapi buru-buru membuang pikiran dan kembali fokus pada proses pemakaman. Shanaya melirik ke arah sang pemuda, tetapi sosok tersebut sudah menghilang.

Flashback Off.

"Shanaya!" teriak keras sang bunda diikuti pintu kamar terbuka, "bukannya belajar malah menghayal!" Suara itu terdengar sampai keluar rumah, membuat siapapun yang mendengar merasa iba.

Gadis ini membuka mata sembari menoleh cepat. Kemudian, menundukkan kepala tanpa berani menjawab. Sementara Yurina Siregar terlihat sangat marah, bola matanya melotot tajam kepada sang anak. Kesal karena putrinya tidak belajar tetapi malah berkhayal. Dia memarahi Shanaya panjang lebar, tidak berhenti sampai suasana hatinya membaik. Baru berhenti setelah tiga puluh menit, sesudah itu beranjak pergi dari kamar, memberikan waktu untuk putrinya merenungi kesalahan.

Shanaya bersedih hati akibat dimarahi sang ibu. Tanpa terasa meneteskan air mata. Ia masih menunduk sambil terisak, tanpa sekalipun berani menoleh ke arah bunda. Hingga terdengar pintu kamar dibanting keras, gadis ini bernapas lega sembari mengucap syukur. Saat itulah dirinya merindukan sang ayah yang bekerja di luar kota. Ingin sekali berkeluh kesah pada ayahnya tentang perilaku ibu.

"Ayah, kapan pulang  ...," batin Shanaya berurai air mata.

...

Yurina sendiri sudah berada pada ruang tamu, duduk di sofa sambil mengembuskan napas. Ia beberapa kali membuang napas agar suasana hatinya membaik, mengingat perilaku sang anak yang membuat kesal. Lalu, mengeluarkan handphone dan mengetikkan pesan. Tak kurang dari dua menit pesan balasan masuk, segera saja beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian.

Yurina Siregar adalah ibu dari Shanaya. Usianya sekitar tiga puluh tahun, masih tergolong muda untuk ibu rumah tangga. Dia mempunyai wajah cantik dan bentuk badan langsing, terkesan seksi yang bahkan mampu menggoda birahi anak remaja.

Yurina keluar dari kamar selepas berganti pakaian. Mengenakan setelan baju serta rok yang terkesan mewah juga terlihat seksi. Kemudian, melangkah keluar rumah sebelum melenggang pergi menggunakan mobil. Tanpa sekalipun berpamitan atau menitipkan pesan pada anaknya.

....

Axel Khatulistiwa duduk berdiam diri di dalam rumah sendirian. Guratan kesedihan tergambar jelas dari raut mukanya. Sudah tiga jam lebih ia duduk sambil mengenang kekasihnya, tanpa ingin beranjak pergi atau sekedar mengisi perut kosong. Sampai kedua matanya terpejam serta diikuti hembusan napas berat. Seolah dirinya sudah tidak ingin melanjutkan kehidupan. Andai saja kekasihnya tidak egois, maka semua hal ini tidak akan pernah terjadi.

Tiba-tiba ia bangun dari tempat duduk. Berjalan lunglai ke arah kamar tanpa gairah atau semangat. Satu-satunya hal yang ingin dilakukan adalah beristirahat, sembari berharap bertemu sang pujaan hati di alam mimpi.

Afriani ... mengapa engkau pergi terlalu cepat.

****

Terima kasih sudah membaca cerita karangan saya.
Jangan lupa mempromosikan ke akun media sosial kalian dan membagikan kepada teman-teman.

Dah ...
Sampai jumpa di part berikutnya.

LDR (Logika Dalam Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang