Pertemuan Tak Ditakdirkan.

135 6 15
                                    

Shanaya berjalan mengendap-endap setelah memasuki rumah, tidak ingin ketahuan sang bunda bahwa pulang terlambat. Matanya bergerak cepat mengawasi keadaan, mengembuskan napas lega disusul berlari kecil menaiki anak tangga. Namun, baru satu anak tangga dilewati sudah terdengar seruan keras, membuat dirinya refleks menoleh ke belakang, diikuti raut muka pucat menahan ketakutan.

"Shanaya!" teriak perempuan yang muncul dari dapur sambil kedua tangan berkacak pinggang. "Dari mana saja jam segini baru pulang?!" Dengan raut muka merah padam. Tersirat amarah yang begitu besar serta meluap-luap.

"Anu, Bunda ...," jawab gadis ini gugup sekaligus takut. "Tadi macet di jalan."

"Alasan!" bentak Yurina tidak mempercayai kata-kata anaknya. Sedangkan Shanaya hanya menunduk tanpa berani memberi penjelasan lebih lanjut.

Hari ini ia merasa sangat sial, sudah di sekolah mendapat masalah dengan Rosi akibat salah paham, sekarang di rumah harus terkena caci-maki dari ibunya karena pulang terlambat. Perasaan yang tadi sempat berbunga-bunga kini telah lenyap dan berganti perasaan sedih. Bola matanya berkaca-kaca, seakan hendak bersiap menumpahkan air mata. Shanaya terus berdiri diam mematung, tanpa memberi penjelasan serta hanya menunduk.

Melihat putrinya berdiri diam mematung menjadikan Yurina merasa sedikit bersalah. Lalu, membuang napas kasar dan menyuruh sang anak pergi dari hadapannya. "Kenapa masih diam saja?! Pergi ke kamar, ganti baju serta makan lalu belajar!" perintah darinya yang tidak boleh dibantah. Sesudah itu, berlalu pergi keluar rumah.

"Baik, Bunda," balas Shanaya lemah lembut sembari mengangguk. Berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamar untuk menumpahkan air mata. Sesampainya di dalam kamar, ia langsung mengunci pintu dan telungkup di atas kasur, menangis keras hingga suasana hatinya membaik.

Sementara di luar rumah, Yurina berdiri sambil mengatur napas. Kemudian, merogoh saku baju dan mengeluarkan handphone, menekan layarnya guna menghubungi seseorang.

"Halo ... kamu sibuk? Bisa gak kita ketemuan, aku butuh refreshing."

"Ok, kita ketemuan di tempat biasa."

Mendengar jawaban tersebut mengubah wajah kesal Yurina menjadi ceria. Bergegas memasuki rumah untuk berganti pakaian sebelum pergi bertemu dengan teman yang akan menghibur hatinya.

...

06.00 WIB.

Satu hari terlewat dengan cepat, pagi sudah tiba dan waktunya beraktifitas seperti biasa. Shanaya tidak ingin mengingat hal yang terjadi kemarin, berusaha melupakan meski sangat sulit. Dia sudah selesai mandi dan berganti pakaian, mengenakan seragam putih abu-abu khas anak SMA. Berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan, tapi sebuah ketukan pintu mengubah arah langkah kakinya, berganti arah menuju pintu depan. Shanaya membuka pintu serta langsung melihat Delvan berdiri seraya tersenyum lebar. Menjadikan dirinya bingung akan tujuan kedatangan temannya.

"Delvan ...?! Mau apa kamu datang kemari pagi-pagi?" Sambil mengerutkan kening akibat merasa heran juga penasaran. Sementara tamu tak diundang itu hanya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi.

"Lho kok mau apa?" jawabnya, "tentu saja mau berangkat sekolah bareng kamu dong." Diakhiri dengan senyuman lebar.

"Tapi ...." Belum sempat Shanaya meneruskan kalimat, tapi sudah dipotong oleh Delvan. "Sudah kamu buruan sarapan. Aku tunggu di sini aja." Kemudian, duduk pada bangku teras rumah Shanaya.

Sedangkan Shanaya hanya mampu pasrah, melangkah pelan masuk ke dalam rumah guna sarapan. Sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan berangkat sekolah bersama Delvan lagi setelah sekian lama. Ia merasa biasa saja, tidak senang atau bahagia, hanya ada sedikit perasaan menggelitik dalam hati.

...

Pagi suram, itulah yang dirasakan pemuda kelahiran Surakarta dua puluh tahun yang lalu. Duduk sendirian di teras rumah sambil menikmati satu cangkir kopi hitam serta sebatang rokok. Axel bukanlah perokok berat maupun perokok aktif, hanya merokok ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Ia mengembuskan asap rokok yang berbentuk lingkaran-lingkaran kecil ke udara, menciptakan awan kelabu yang menaungi kepalanya. Lalu, meneguk secangkir kopi hingga tak bersisa dan melanjutkan melamun.

Tiba-tiba lamunannya berganti ke kejadian tempo hari, disaat dirinya mengantar pulang seorang gadis SMA. Hal itu menimbulkan sensasi aneh di hati, seakan berharap ingin bertemu lagi. Kemudian, bangun dari kursi dan bergegas menuju kamar mandi. Ada hal kecil yang harus dilakukan pada pagi hari.

Gadis lucu.

...

Kerumunan siswa terjadi di tempat parkir tatkala Shanaya turun dari mobil Delvan, mengundang banyak perhatian dan pasang mata. Gadis ini merasa risih, segera angkat kaki dan bergegas pergi. Namun, tertunda oleh Delvan yang lebih dulu menarik pergelangan tangannya.

"Delvan, aku mau ke kelas," ujar Shanaya. Sedangkan sang pemilik nama hanya mengulas senyuman sebelum berbicara. "Biar aku antar."

"Tapi kelas kita berbeda." Shanaya beralasan, tidak ingin mengundang lebih banyak kehebohan. Namun, Delvan tidak peduli dan tetap mengantar Shanaya sampai ke kelas.

Sepanjang perjalanan menuju kelas banyak murid yang melihat keduanya, kebanyakan dari mereka merasa iri sekaligus kesal. Shanaya pun hanya berjalan sambil menunduk, takut melihat tatapan orang-orang padanya. Hingga sampai di depan pintu kelas ia berkata kepada Delvan seraya berterima kasih. "Terima kasih, aku masuk kelas dulu."

"Tunggu!" ujar lelaki bertinggi 175cm tersebut. Mendekat dan mengelus lembut kepala Shanaya sembari tersenyum. "Semangat belajar ya."

Hal itu membuat Shanaya merasa malu, bahkan kedua pipinya bersemu merah, tapi yang lebih parah adalah jantungnya berdegup sangat kencang. Ia menyingkirkan tangan Delvan yang masih mengelus kepalanya, lalu, berlari kecil masuk ke dalam kelas. Sementara pemuda tersebut merasa sangat bahagia karena rencananya berjalan sempurna. Kini saatnya pergi ke kelasnya sendiri dan mulai menyusun rencana lain.

Di dalam kelas, baru satu detik Shanaya duduk tapi sudah dicecar oleh berbagai macam pertanyaan dari teman-temannya, termasuk Dina yang ikut merasa penasaran. Bahkan sahabat Shanaya itu melontarkan pertanyaan tanpa jeda, membuat sang pemilik nama hanya diam sambil mengatur napas pasrah.

"Shanaya, kamu bareng Delvan ke sekolah? Kamu dijemput Delvan? Kalian naik mobil???" cerocos Dina tanpa henti dengan mimik wajah penuh penasaran.

"No comments," jawab Shanaya singkat, padat, dan jelas seraya menoleh ke arah temannya. Menjadikan bibir Dina mengerucut karena sebal.

....

Tepat setelah bunyi bel pulang sekolah dan guru keluar kelas, Shanaya melangkah cepat pergi dari kelas tanpa berpamitan pada siapapun, termasuk pada sahabatnya. Tujuan dirinya melakukan itu adalah supaya tidak pulang bersama Delvan. Jujur, ia senang berteman dan suka berada di dekat Delvan, akan tetapi, merasa risih kepada para penggemar cowok tersebut, yang kebanyakan adalah murid perempuan.

Ia sudah sampai depan pintu gerbang sekolah, menunggu angkutan umum dengan rasa was-was, takut kalau tiba-tiba Delvan datang. Namun, Shanaya mendadak tersentak kaget saat sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Sang pengemudi melepas helm. "Mau pulang bareng lagi?" sapa sekaligus tanya. Sementara Shanaya mematung di tempat dengan mata membulat, tapi jantungnya berdetak sangat keras.

"Kau ...?" kata Shanaya terbata-bata.

"Mau pulang bareng gak?" tanya orang itu sekali lagi. Tanpa berpikir lebih panjang, Shanaya setuju dan segera membonceng. "Ayo cepat!"

"Iya, sabar," balas orang tersebut sebelum tancap gas membawa pergi gadis yang baru saja dikenalnya.

....


LDR (Logika Dalam Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang