09.30 WIB.
"Sampai kapan kau akan terus bersedih?!" tegur seorang pria yang melihatnya melamun. Datang menghampiri sambil membawa dua cangkir kopi.
Axel menoleh ke orang itu sambil tersenyum pahit. Wajahnya murung serta sorot mata sayu, seperti tidak terdapat gairah hidup. Menyahut perkataan temannya dengan nada datar setelah mengembuskan napas. "Sampai suasana hatiku membaik."
Teman dari Axel itu geleng-geleng kepala seraya meletakkan dua cangkir kopi ke atas meja. Kemudian, berlalu pergi guna mengambil roti bakar yang sudah siap dihidangkan. "Ini, sarapan dulu," ujarnya sambil meletakkan piring yang berisi roti bakar. Menarik bangku sedikit ke belakang dan duduk di samping sang teman.
"Apa kau masih sedih akibat kehilangan Afriani?" Yang dibalas anggukan kepala. Lalu, menyeruput kopi hitam sembari mengambil roti bakar.
Sejak jam tiga pagi dirinya sudah berada di kafe. Tidak dapat tidur nyenyak dan memutuskan untuk menghabiskan waktu sembari berkeluh kesah. Untung saja pemilik kafe adalah temannya, jadi tidak mempermasalahkan seorang pelanggan yang datang tidak tahu waktu. Pemuda itu iba dengan hal yang menimpa Axel, memberikan bantuan juga dorongan semangat agar temannya mampu bangkit seperti sedia kala, meski tahu bahwa itu takkan mudah.
Dennis Alvaro adalah pemilik kafe sekaligus sahabat dari Axel. Mempunyai paras lumayan ganteng dengan hidung mancung dan rambut belah samping yang tersisir rapi. Perawakan tubuhnya terbilang sedang, dengan bentuk badan ideal, tidak terlalu kurus atau gemuk. Tangan kanannya menepuk bahu Axel untuk memberi dorongan semangat agar kuat melewati permasalahan hidup.
"Axel," ucapnya, "doakan saja Afriani tenang di alam sana." Lagi-lagi dibalas anggukan kepala tanpa sepatah kata. Karena sang empu nama memilih diam mengiyakan. Hal tersebut menjadikan Dennis resah, takut jika akal sehat temannya terganggu akibat patah hati.
...
"Ayo ke kantin," ajak Dina kepada Shanaya selepas bel istirahat berbunyi dan guru keluar kelas. Namun, temannya hanya diam sambil menggelengkan kepala. Hal tersebut membuat gadis berambut panjang sebahu itu heran, pasalnya sang kawan bersikap aneh setelah pergi bersama Rosi. "Shanaya, ada apa? Sejak jam pertama kamu cuma diam dan fokus sama pelajaran."
Gadis ini menoleh pelan sembari memaksa tersenyum. "Tidak apa-apa, kok." Memilih menyimpan cerita seorang diri, tidak ingin temannya tahu. Takut apabila Dina ikut terseret ke dalam masalahnya. Ia mengembuskan napas pelan, lalu menyuruh sang sahabat pergi ke kantin. "Jika kau mau ke kantin, pergi saja." Sesudah itu kembali fokus pada buku pelajaran.
Dina semakin penasaran, mempunyai dugaan kecil bahwa terjadi sesuatu antara Rosi dan Shanaya. Dugaan darinya diperkuat oleh raut muka sang teman yang sedih sedari pagi, tepatnya setelah pergi bersama Rosi. Namun, ia tidak dapat berbuat apapun, sebab Shanaya memilih diam serta enggan bercerita. Bingung harus berbuat apa, Dina mengambil keputusan untuk menemani sang sahabat belajar di kelas, mengabaikan rasa lapar pada perut.
....
Axel kembali melamun, mengabaikan Dennis yang duduk setia menemani di sampingnya. Pikiran pemuda ini mengkhayal jauh menembus batas logika, hingga teringat akan kejadian yang dialami tadi malam. Buru-buru membuka mulut, bercerita sekaligus meminta pendapat dari temannya. "Dennis, ada hal yang ingin aku ceritakan!"
"Apa?" timpal sang pemilik nama. Mengembuskan asap rokok ke udara sambil menoleh dengan mata setengah terpejam akibat menahan rasa kantuk. Dia mengucek mata beberapa kali seraya menguap sebelum mendengarkan cerita dari sahabatnya.
"Semalam aku dapat chat dari Afriani."
"Apa?!" teriaknya terkejut. Matanya terbuka lebar serta rasa kantuk berat yang melanda langsung sirna. Lalu, bertanya ulang memastikan bahwa tidak salah mendengar. "Kamu dapat chat dari Afriani?!" Sembari menyentuh kening sahabatnya.
"Apa-apaan sih!" seru Axel sambil menepis tangan temannya. Menilai bahwa respon yang diberikan Dennis terlalu berlebihan, kemudian merogoh saku celana dan mengeluarkan handphone. Menunjukkan pesan masuk di benda pipih hitam tersebut kepada temannya. "Lihat ini."
Mata Dennis semakin melebar saat membaca pesan masuk di handphone temannya. Merasa bersalah karena mengira bahwa Axel telah berkhayal atau gila. Namun, dia bingung untuk menjelaskan, sebab hal yang terjadi sangat tidak logis. "Tataa ... pii ...." Dennis kesulitan berkata-kata sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.
Axel memilih mengalihkan pandangan ke tempat lain, mengabaikan temannya yang memberikan respon berlebihan. Ia pun segera mencoba melakukan panggilan ke nomor handphone Afriani. Panggilan darinya tersambung dan hendak berbicara, akan tetapi, belum sempat mengeluarkan sepatah kata panggilan sudah dimatikan secara sepihak. Menjadikan dirinya semakin sangat penasaran.
"Apa kau di sana benar-benar Afriani?"
....
Shanaya terkejut akibat handphone miliknya berdering. Segera merogoh saku rok dan mengambil benda pipih berwarna silver dengan terburu-buru. Menekan tanda pada layar handphone guna menerima panggilan masuk, tapi belum sempat menjawab sudah kembali dikejutkan oleh suara bel istirahat berakhir. Secara refleks menggeser layar untuk mematikan panggilan. Degup jantungnya kencang, karena nomor handphone tersebut adalah nomor yang menelpon dirinya tadi malam. Selanjutnya, bergegas memasukkan benda pipih itu kembali ke dalam rok.
Bukan hanya Shanaya saja yang kaget karena dering handphone, tetapi teman satu bangkunya pun ikut terkejut. Dina tak menyangka bahwa temannya sudah memiliki handphone, sebab yang dia tahu bahwa bunda dari Shanaya tidak mengijinkan anaknya mempunyai handphone. Bola mata gadis itu melebar sambil melontarkan banyak pertanyaan.
"Kamu sekarang ada hp?!! Coba liat dan pinjam dong, sekalian minta no kamu ya?"
"Hehehe ...." Shanaya hanya tersenyum malu, tapi suasana hatinya berubah menjadi lebih baik. Mulai menjelaskan tentang handphone miliknya. "Iya, aku sekarang punya hp. Tapi hp ini bekas almarhumah kakak sepupuku."
Dina mengangguk paham, mencoba meminjam handphone Shanaya atau sekadar ingin melihat. Namun, tertunda akibat murid-murid lain bergegas masuk ke dalam kelas, diikuti langkah kaki masuk seorang guru perempuan yang terkenal galak juga sangat disiplin.
"Sekarang, masukkan semua buku dan kita ulangan kimia!" Yang dibalas suara kekecewaan dari para murid. "Yaaahh ...."
....
Tiga puluh menit sebelumnya.
Wajar jika kantin menjadi tempat yang selalu ramai serta penuh dikala jam istirahat. Banyak murid yang ingin jajan serta menghabiskan waktu istirahat di kantin, ada pula yang hanya sekadar nongkrong sambil tebar pesona serta cuci mata. Pada salah satu meja makan, terdapat Rosi dan dua temannya yang selesai menyantap makanan. Mereka tidak langsung angkat kaki selepas selesai makan, memilih duduk sambil bercerita hingga jam istirahat berakhir.
"Rosi," ujar Dista, "apa kamu yakin kalau Shanaya tidak akan menggoda pacarmu lagi?"
"Betul," timpal Risti. "Aku juga setuju sama pendapat Dista."
Rosiana Dewi hanya menyunggingkan senyum ke arah dua temannya. Kemudian, berbicara dengan nada penuh penekanan. "Jika gadis brengsek itu masih berani menggoda pacarku, maka aku akan bertindak lebih kejam. Tadi pagi hanyalah peringatan pertama."
Tanpa sadar percakapan mereka secara tidak sengaja didengar oleh Delvan. Pemuda itu langsung berlari meninggalkan kantin menuju kelas Shanaya, tapi baru sepuluh langkah sudah berhenti akibat bel masuk berbunyi. Dia tak punya pilihan, selain segera masuk ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran. Lalu, untuk persoalan Shanaya bisa menunggu hingga waktu istirahat kedua.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR (Logika Dalam Rasa)
Novela Juvenil(19+) Ini bukan tentang kisah cinta jarak jauh, melainkan tentang logika dalam mencintai. *** Shanaya Kaifa adalah pelajar muda yang sangat giat juga tekun dalam belajar. Tergila-gila pada novel dan mengidolakan seorang penulis terkenal. Sekilas, hi...