Pertemuan Pertama

296 11 6
                                    

09.30 WIB.

Bel istirahat berbunyi keras, para murid berhamburan keluar kelas setelah guru menyelesaikan materi pelajaran. Hampir semua murid berada di luar kelas, menghabiskan waktu istirahat dengan bersenang-senang atau sekedar jajan. Kecuali Shanaya Kaifa, yang memilih menikmati jam istirahat dengan memahami materi pelajaran. Tidak tertarik dengan yang dilakukan oleh murid-murid lain. Tentu saja merasa lapar, untuk itulah selalu membawa bekal dari rumah, berupa dua roti bungkus serta satu botol air mineral. Ia melahap roti sedikit demi sedikit, sambil membolak balikkan buku catatan seraya menghafalkan materi. Namun, konsentrasi dan fokusnya terganggu akibat salah seorang temannya datang menghampiri.

"Hai, Shanaya," sapa salah satu seorang teman, "kamu gak mau ke lapangan basket?"

Shanaya menoleh sekilas ke arah temannya, sebelum menggeleng sembari menjawab. "Gak, aku pilih belajar aja." Lalu, kembali fokus pada lembar buku catatan.

"Yakin ...?" ujar Dina. Yang kali ini sukses menarik perhatian Shanaya. Membuat gadis berambut hitam kecoklatan bertanya. "Memang ada apa di lapangan basket?"

Senyum Dina melebar, senang berhasil menarik perhatian temannya. Selanjutnya, baru memberikan penjelasan. "Tuh ... Delvan lagi tanding basket."

"Beneran?" tanya Shanaya memastikan dengan bola mata melebar seakan tak percaya. Yang dibalas anggukan kepala dari Dina. 

Segera saja ia merapikan buku serta memasukkan ke dalam tas. Melahap roti secara cepat sebelum meneguk habis minuman. Sesudah itu, berlari kencang keluar kelas menuju lapangan basket. Meninggalkan sang teman tanpa mengucapkan terima kasih atau berpamitan. Sedangkan Dina hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya. Sebagai seorang sahabat, tentu akan merasa bahagia bila sahabatnya bahagia.

Dina Arum Puspita merupakan sahabat Shanaya sekaligus teman bangku. Gadis berumur tujuh belas tahun yang memiliki rambut hitam sepanjang bahu. Parasnya tergolong cantik tak kalah dari Shanaya, dengan bentuk badan ideal serta tinggi kira-kira 160cm. Tak ingin berada di kelas sendirian, memutuskan untuk menyusul sahabatnya.

"Shanaya, tunggu!"

....

Di lapangan basket sedang terjadi pertandingan seru antara kelas 12 melawan kelas 11. Banyak penonton yang mayoritas perempuan berdiri di pinggir lapangan basket, berteriak serta bersorak tatkala tim atau pemain pujaan mereka mencetak poin. Para penonton kembali bersorak saat pemuda yang menjadi bintang sekolah mencetak poin kemenangan bagi kelas dua belas. Dia adalah Delvan Brahmana, murid yang menjadi idola kaum hawa di sekolah. Parasnya tampan dengan model rambut pendek belah samping. Mempunyai perawakan kurus tapi terlihat berotot, dengan tinggi badan sekitar 177cm.

Yeee ... Delvan.

Delvan.

Delvan.

Sorak-sorai para murid perempuan kepada pujaan hati mereka, termasuk Shanaya yang ikut berdiri dan menyaksikan pertandingan di pinggir lapangan. Bola mata gadis ini melihat dengan binar sepak terjang Delvan. Kagum terhadap pemuda yang jago bermain basket juga pintar dalam pelajaran.

Lima menit sebelum bel berbunyi, pertandingan basket selesai dengan kemenangan kelas dua belas. Tentu saja yang menjadi bintang serta pahlawan kemenangan adalah Delvan Brahmana, bertepuk tangan ke arah para penonton seraya tebar pesona. Sorot matanya terpaku pada seorang gadis yang ikut menyaksikan pertandingan basket, segera berlari menghampiri sembari tersenyum sebelum menyapa halus. Membuat para murid perempuan lain merasa iri sekaligus kesal.

"Hei, Shanaya."

Disapa seperti itu menjadikan degup jantung Shanaya tak berirama, terlebih saat melihat wajah dan badan Delvan dipenuhi keringat. Terlihat sangat mempesona juga eksotis, membangkitkan birahi-birahi kecil dari hati. Kemudian, ia mencoba untuk tersenyum seraya memberikan air mineral yang dibeli dari kantin. "Ini ...."

Air mineral itu diterima sukarela oleh Delvan. Meneguknya sampai habis seraya berterima kasih. "Terima kasih," ucapnya. Yang dibalas anggukan kepala serta senyum. Suasana hatinya menghangat tatkala minuman darinya diterima dengan baik. Kemudian, berbalik arah meninggalkan Delvan tanpa berbasa-basi atau terlebih dulu berpamitan.

Delvan sendiri merasa aneh akan sikap Shanaya, meski dalam hati bersorak gembira. Andai waktu dapat diulang, maka tidak akan membuat keputusan yang merugikan. Ia memandang punggung Shanaya yang berlari menjauh sembari tersenyum dan berujar dalam hati.

Shanaya, i love you.

....

14.30 WIB.

Bel pulang sekolah telah berbunyi, satu per satu siswa maupun siswi beranjak pergi meninggalkan sekolah. Termasuk Shanaya, yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah menunggu angkutan umum. Meski berasal dari keluarga kaya, tapi tidak pernah diajarkan menjadi anak manja. Berangkat dan pulang sekolah selalu memakai angkutan umum. Lima belas menit sudah menunggu angkutan umum yang tak jua datang, mulai merasa lelah juga gerah, apalagi sinar matahari terasa sangat terik. Shanaya menghapus peluh di wajah, sambil berharap angkutan umum segera datang. Saat itulah Delvan Brahmana muncul dengan menaiki sepeda motor sport. Berhenti tepat di hadapannya sembari melepas helm.

"Hei Shanaya," sapa Delvan seraya mengulas senyum. "Mau pulang bareng gak?"

"Gak usah," tolak Shanaya halus. Tidak ingin memberikan harapan kosong kepada temannya.

Mimik muka pemuda tinggi 177cm itu sedikit berubah, terlihat agak kesal juga kecewa. Namun, tak ingin memperlihatkan rasa kecewa pada Shanaya, tetap mengulas senyum dan bersikap normal. Mencoba sekali lagi membujuk, berharap temannya berubah pikiran.

"Kayaknya angkot yang kamu tunggu masih lama, mending bareng ...." Belum sempat menyelesaikan kalimat. Sudah dipotong oleh Shanaya yang melihat angkutan umum. "Udah dulu ya, Delvan." Lalu, bergegas masuk ke dalam angkutan, tanpa memperdulikan perasaan pemuda tersebut.

Delvan hanya membuang napas, kecewa karena gagal. Meski begitu tidak akan menyerah dan akan terus mencoba sampai hati temannya luluh. Ia kembali memakai helm sebelum melenggang pergi menuju ke kediaman.

Percakapan keduanya tadi ternyata banyak menarik pasang mata, terutama murid perempuan yang menjadi fans dari Delvan. Mereka kesal karena idolanya tertarik kepada Shanaya, akan tetapi, lebih kesal karena gadis itu jual mahal dan menolak ajakan pulang dari Delvan. Beberapa siswa perempuan sempat merekam kejadian itu, lalu dibagikan serta disebarluaskan agar viral. Dengan tema atau judul, 'Gadis biasa sok jual mahal pada Pangeran'.

....

Bukannya pulang, tapi malah pergi ke toko buku. Selain giat belajar, Shanaya juga tipe perempuan yang suka membaca novel genre romance dan teen fiction. Setelah turun dari angkutan, segera bergegas masuk ke dalam toko tanpa ingin membuang waktu. Gadis ini bingung, raut mukanya seperti anak kecil yang melihat banyak sekali mainan. Seolah ingin membeli semua buku yang ada di toko buku.

Shanaya berjalan mengelilingi toko buku, kesulitan memilih karena semua buku tampak menarik di matanya. Hingga berhenti tepat pada sebuah novel karangan penulis terkenal. Merasa tertarik dan segera mengambil untuk membelinya. Namun, ada yang mendului dirinya mengambil buku tersebut.

"Maaf." Sambil menoleh ke sosok tersebut, tapi tidak berani melanjutkan perkataan karena mendapat sorotan tajam. Ia menundukkan kepala, sembari menahan napas dan menelan saliva.

Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya. Gadis ini segera mengangkat pandangan dan memberanikan diri untuk bertanya, akan tetapi, sosok asing itu sudah menghilang dari hadapannya. Tak kehabisan akal, Shanaya langsung berlari menuju kasir, berharap laki-laki tersebut masih dalam proses pembayaran. Namun, angannya pupus tatkala tak mendapati siapapun di sana. Ia membuang napas kecewa, gagal mengenal laki-laki itu, kini malah semakin bertambah penasaran. Kemudian, tak ingin pulang dengan tangan kosong, memilih novel lain yang menurutnya menarik.

*****

LDR (Logika Dalam Rasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang