Ingatan 9.

22.5K 3.1K 1.6K
                                    


Ingatan 9.

"Tapi anak-anak korban perpisahan bukan merasa terbuang karena keadaan.

Melainkan terbuang karena dianggap tak punya perasaan."

Ravel → Foto Pertama, Buku The Suitcase Kid

❀❀❀❀

RUMI

Percayalah, gue selalu ingin menyerah berteman dengan seorang Aquarius.

Entah karena pola pikir mereka yang rumit, atau sikap mereka yang selalu menunjukan kalau semua yang gue beri untuk mereka gak cukup berharga untuk diingat. Gue gak memukul rata semua Aquarius sama, tapi paling enggak, gue hampir nyerah untuk temenan sama seorang Aquarius seperti Asmara.

"Rum.."

Kapan terakhir kali dia datang ke kost-an gue?

Bukan untuk nangis dan curhat tentang cowoknya, lalu kemudian pergi lagi setelah masalahnya udah selesai.

Bukan untuk bilang, "Rum gue pengen curhat."

Tapi cuma untuk dateng aja.

Nyari gue tanpa ada perlu, melainkan karena dia ingin main dan menghabiskan waktunya bersama gue seperti dulu.

"Mar...," setiap keberadaannya muncul di depan pagar kost Bu Heni, gue selalu ingin wajahnya secerah dulu -nyengir sambil meneriaki nama gue, bukan memberikan suara dan ekspresi sedih seperti ini.

"Lo apa kabar?"

Renggangnya persahabatan jadi terasa ketika kalimat tanya seperti itu yang muncul.

Basi, tanpa makna, gak ada alur dan alir, semuanya jadi terasa kosong dan gak sama.

"Baik," jawab gue.

Dan di kamar gue lah Mara diam seribu bahasa, menunggu gue yang bicara duluan di saat gue sangat ingin dia yang memulainya. Mara cuma duduk di pinggir kasur gue yang teralas di lantai. Kakinya terlipat dengan tangan yang memeluknya erat.

"Gue gak tau harus mulainya dari mana Rum," suaranya pelan. "Gue....," dan dia lebih terdengar merasa bersalah dibanding kecewa -seperti yang selalu dia lakukan usai putus dari Ravel. "Baru pertama kali.... Gue ngerasa bersalah banget sama Ravel."

Ucapannya seolah mengonfirmasi, kalau semua yang ada di kepala gue sekarang,

yang gue dengar langsung dari sepupunya Ravel benar.

"Dan kayaknya emang bener... Kali ini gue gak bisa balikan lagi, Rum." Ada sedikit nada frustasi dari caranya bicara, dan gue juga gak kalah frustasi dari dia.

"Gue inget waktu pertama kali lo cerita suka banget sama Ravel," gue memulai, cuma ingin dia rewind sebentar dan gue juga gak tau apa tujuan untuk ngomong ini. "Gue pikir lo kayak temen-temen cewek kita yang lain. Anak kelas 10, suka sama kakak kelas yang emang banyak banget disukain cewek-cewek," waktu belum kenal, buat gue Ravel juga keren banget. Punya cowok kayak Ravel kayaknya terdengar delusional. Cowok kayak dia harusnya punya cewek dari sekolah lain yang cakepnya juga bisa setara sama dia. "Tapi ternyata lo beda, Mar... Selama itu gue temenan sama lo, gue gak pernah lihat lo nangisin cowok yang gak bales chat lo seharian. Dan waktu ternyata Ravel juga deketin lo, kasih tanda kalau dia juga suka sama lo... Gue rasa lo paling bahagia saat itu. Lo gak pernah berhenti ngomongin dia, lo selalu ketawa, gak berhenti senyum.."

Layak DiingatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang