The Blind Date

5.8K 48 4
                                    


Hari Rabu yang panas di Jakarta membuat Vira bermalas-malasan, meskipun dia tahu siang hari ini akan menjadi blind date pertama baginya selama satu setengah tahun tinggal di Jakarta. Matanya masih sayu karena latin night di malam sebelumnya, membuat dia bergadang dan berdansa hingga tengah malam. Bukan malam luar biasa baginya, karena malam itu dia tidak cukup berdansa Kizomba, dansa favoritnya sejak bulan Juli lalu.

Louis, bule Jerman yang dikenalnya lewat situs kencan Finder, sudah beberapa hari membuatnya sibuk fokus dengan pesan di handphone. Vira mengenal Louis sekitar dua minggu yang lalu. Sebagai pria dewasa yang cukup berumur, secara fisik, Louis berpenampilan biasa, bahkan cenderung formal dan serius. Tidak terbilang good looking, rambut brunette, mata hazel, cenderung berbadan besar seperti orang Eropa kebanyakan, te tapi ada satu hal yang membuat Vira tertarik untuk mengetuk tanda "suka" di situs Finder. Vira menyukai senyum Louis, yang terlihat tulus dan ramah, setidaknya di foto. Dan lucunya, tidak berapa lama setelah Vira mengetuk tanda "suka", ternyata mereka saling menyukai dan berjodoh.

Setelah puluhan pria yang dia kenal lewat situs ini, dan tak satupun yang berujung pada pertemuan, akhirnya Louis menjadi pria pertama yang menunjukkan keseriusan untuk bertemu, tanpa menunjukkan sikap aneh dan kurang pantas, seperti pria-pria lain yang dia temui di Finder. ONS (one night stand) menjadi tawaran paling sering dari mereka, yang tentunya langsung Vira tolak. Meskipun dia sadar, bahwa jatuh cinta lewat situs kencan, hampir mustahil terjadi, tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan? Setidaknya kita patut mencoba, pikirnya.

Pagi menjelang siang, Louis menghubungi Vira, untuk memilih tempat dan jam yang pas untuk bertemu, antara Restoran Korea, atau Restoran Mexico. Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu di Restoran Mexico, yang tak jauh dari kos-kosan Vira. Hanya butuh 10 menit dengan taxi online.

Vira berdandan sederhana, kemeja garis hitam putih, jeans hitam, high heel, dengan shoulder bag kecil, rambutnya yang sepanjang bahu, dia gerai bebas. "No need to dress up too much, it's just a lunch!" batin Vira.

Sesampainya di Restoran Mexico yang disebutkan Louis, Vira berjalan pelan memasuki restoran. Bukan karena ingin terlihat anggun, tapi karena sebenarnya dia tidak terlalu terbiasa menggunakan high heel. Jiwa tomboy Vira meronta sebenarnya, tapi dia tidak ingin terlihat trashy didepan Louis. Bukan munafik, hanya sedikit jaim, pikir Vira.

Sambil menengok kanan kiri, pandangan Vira terpaku pada sosok bule yang selama ini dia kenal lewat situs Finder. Sama persis seperti yang dia lihat di foto profil, bahkan dengan postur yang lebih tegap. Mungkin itu foto lama? Di foto badannya terlihat agak besar, tapi hari itu dia terlihat lebih berotot. Vira sedikit gugup, tapi berusaha menahan diri agar tidak terkesan kampungan.

"Louis?" Sapa Vira sambil tersenyum.

Louis yang tengah sibuk bermain handphone, sekejap mendongakkan kepala dan terkejut melihat Vira. Dengan senyum dan tangan terbuka lebar, dia pun balas menyapa.

"Hey Vira! Nice to meet you!" Louis terlihat bersemangat dan menatap Vira beberapa lama, sebelum akhirnya mengajak Vira duduk berhadapan.

Tak henti-hentinya Vira menatap Louis. Louis bersuara sedikit serak, tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar 170cm. Senyum dan tatapan mata ramah itu, nyata adanya. Louis yang ternyata lancar berbahasa Indonesia, Louis yang suka bercerita, dan ternyata karyawan di organisasi sosial, serta pernah bekerja di organisasi sosial tanpa dibayar. Louis yang mendapatkan beasiswa di Cambridge University, serta Louis yang pernah ditugaskan di daerah dengan tingkat kemiskinan paling parah di dunia.

Vira mendengarkan semua cerita Louis dengan mata berbinar. Dia merasa beruntung, bertemu dengan pria Jerman berambut pirang, tidak bermata biru tapi hazel, bukan pangeran kerajaan, tapi pria dewasa yang berwawasan, dan memiliki selera humor yang cukup tinggi. Entah berapa kali Louis membuatnya tertawa dengan leluconnya yang menjengkelkan tapi tetap lucu. Dan dalam setiap obrolannya, tidak ada satupun yang mengarah pada hal-hal negatif. Benar-benar obrolan bersih, tanpa embel-embel ONS, atau apapun yang selama ini Vira khawatirkan akan terjadi saat blind date.

Sekitar dua jam, Vira dan Louis menghabiskan waktu makan siang dan berbincang tanpa arah. Louis melihat ke arah jam tangan dan terlihat kaget.

"Oh God!! My office staffs are gonna kill me for leaving the office for hours. I need to get back to work. Anyway, it's really nice to meet you, Vira. You are very nice!" ucap Louis sambil memegang lengan Vira.

"It's also nice to meet you, Louis. You' re very nice and funny".

"Do you still wanna meet me, next time maybe?" tanya Louis.

"Off course!!! I would love to! But maybe after 2 weeks, because I have a lot of things to do in the office, if you don't mind?"

"It's okay! So,,, see you next time?" ucap Louis sambil tersenyum.

"Yes,,off course" balas Vira meyakinkan.

Louis menggenggam lengan Vira dan mencium pipi kanan dan kirinya, lalu memeluk Vira sebagai salam perpisahan. Vira masih duduk dikursinya saat taxi Louis pergi meninggalkan restoran, dan menunggu taxi onlinenya datang.

Sesampai di kos, senyum Vira tidak kunjung hilang. Bahagia, gugup, malu, rasa yang bercampur aduk dan sulit untuk dijelaskan. Entah berapa lama dia tidak pernah merasakan hal itu. Setahun? Dua tahun? Mungkin lebih, sejak terakhir dia putus dengan mantannya yang menghilang tanpa alasan, dan membuatnya kehilangan arah dan semangat hidup.

Hari itu, kencan pertamanya di Finder, jauh diluar ekspektasinya. Tidak hanya bertemu bule pirang yang baik hatinya, berwawasan, dan juga humoris, tapi juga karena pria ini berharap bisa bertemu kembali dengannya di lain waktu. Bukan sekedar hi bye date. Alunan musik Andre Rieu, "Lippen Schweigen", menemani Vira di Rabu malam itu, ditengah-tengah insomnia. Dan dalam hatinya dia tahu, hari Rabu di akhir Oktober itu, membuatnya terlalu bahagia.

THE FINDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang