Ian's Perspective

3K 30 0
                                    


Sudah jam 9 pagi, tapi Vira masih belum terlihat di Cafe Massimo, coffee shop kecil milik Ian. Pria berumur 30-an tahun yang masih single dan bergaya sedikit urakan, dengan rambut gondrong sebahu dan gaya casual sporty itu, merupakan sahabat dekat Vira sejak Vira mengenal dunia dansa. Berulang kali Ian menengok ke arah pintu masuk cafe, tapi sosok yang dia cari tidak kunjung terlihat. Ian terfokus pada pintu dan handphone di tangannya. Tidak ada satupun pesan masuk dari Vira, akhirnya Ian merasa kesal dan melempar handphone ditangannya ke samping mesin kopi.

Tidak lama kemudian, terdengar suara gagang pintu dibuka. Vira datang dengan senyum lebar, dengan menggoyangkan pundak dan meledek Ian yang menunjukkan wajah kesal. Vira tahu, sahabatnya pasti kesal karena menunggu lama. Bukan menunggu kedatangannya, tapi menunggu nasi uduk untuk sarapan paginya, pikir Vira.

"Ciyeee yang ngambek gara-gara nasi uduknya dateng telat!" ledek Vira sambil tersenyum.

"Jam berapa nih? Nggak tahu orang laper ya?!" jawab Ian sambil menyambar bungkusan plastik di tangan Vira.

"Soriii,,, tadi malem insomnia, kesiangan deh, hazelnut cappucino dong bikinin"

"Dateng-dateng minta kopi gratisan, enak aja!"

"Yaelah, gitu aja marah, tar ubannya nambah lho!" ledek Vira lagi sambil tertawa.

Ian melahap nasi uduk tanpa memperdulikan Vira yang merengek meminta kopi sambil menarik-narik lengan bajunya. Rengekan yang bertahan selama 15 detik, dan terhenti sesaat setelah handphone Vira berdering. Dia tahu, Vira cuma berusaha manja, padahal Vira bisa membuat kopi sendiri dari mesin kopi miliknya. Kekesalan Ian menghilang sesaat setelah perutnya terisi nasi uduk. Segelas air putih ditenggaknya, sambil melirik ke arah Vira yang tersenyum-senyum menatap handphone-nya. 

"Insomnia bikin sarap ya? Kenapa cengar cengir sendiri?" tanya Ian ketus.

"Heheheheheh,, coba tebak?" ucap Vira sambil tetap menatap handphone di tangannya.

"Dapet giveaway?" tebak Ian asal-asalan.

"Nggak!" jawab Vira tengil.

"Trus?" Ian mendekat ke arah mesin kopi dan membuatkan hazelnut cappucino kesukaan Vira.

"Tebak duluuuu" Vira masih fokus ke handphone di tangannya.

"Ogah!! Kasih tahu aja lah, males banget tebak-tebakan!" teriak Ian sambil membuang ampas kopi ke tong sampah di bawah meja.

"Dihh nggak seru banget sih" Vira mulai menatap Ian.

"Kemaren, akhirnya aku ketemu dong sama si Louis, bule yang aku ceritain waktu itu. Kita lunch bareng" ucap Vira manja.

"Bobo bareng nggak?" jawab Ian sambil meletakkan kopi dimeja bar dihadapan Vira.

"Heh, sembarangan ya?! Emangnya Ian Pramana, yang tiap hari gonta-ganti cewek nggak jelas dari Finder? Kita dong, makan siang, ngobrol sampe sore, bersih! Nggak ada acara esek-esek kaya kamu!" jawab Vira ketus, sambil menuang gula aren bubuk di kopinya.

"Hahahahaha,,,, Yaelah Vir, cuma makan siang doang sampe insomnia, baper parah lu!" Ian tertawa sambil memegang perut karena geli.

"Ehh kamu tuh jangan gitu dong. Dia baik tahu, kerja di organisasi internasional, bukan cowo random!" Vira mulai kesal dengan ledekan Ian.

"Iyaaa iyaaa, tapi kalo ini menurut aku yaaa, sebagai cowok lho, sebagai temen kamu juga ya, jangan terlalu gampang lah percaya sama cowok, apalagi kamu kenal di situs kencan, woiii bangun woiiii, jangan ngimpiii!! Dia bisa aja ngaku-ngaku ini itu, bos perusahaan ini, mencari pasangan jiwa, dan ratusan bulshit lain, tapi kamu jangan jadi cewek bego ya, jangan gampang dibohongin. Rata-rata cowo di Finder tuh cuma nyari ONS doang"

"Buktinya dia nggak gitu, dia tu beda, obrolannya berwawasan, lucu, quite gentleman!!"

"Ya terserah kamu kalo kamu ngga percaya, nanti juga kamu sadar sendiri bahwa semuanya sama. Starter dan endingnya sama, cuma alur ceritanya aja yang beda. Ending-nya happy atau sad aja"

"I know you're gonna say that, tapi dia nggak gitu, dia nggak nyari ONS. Anyway, I date him, not you. I know him, and you dont. Terserah kamu mau nge-judge apa" 

"Okayyyyy"

Vira merasa dongkol dengan perkataan Ian. Seharusnya Ian mendukungnya sebagai teman, bukan malah menjatuhkan dan mengolok-olok. Cangkir kopi sengaja dia letakkan diatas meja dengan sedikit dibanting agar Ian tahu kekesalan Vira, meskipun Vira khawatir cangkirnya pecah karena ulahnya. Ian mengangkat kedua tangannya dan memberikan kode mengunci mulut dengan tangan kanannya. Ian tahu bantingan cangkir kopi itu merupakan kode keras Vira yang benar-benar marah.

Pintu cafe dibuka oleh dua orang pria, yang berpenampilan seperti karyawan kantor. Ian menyapa mereka berdua, meninggalkan Vira di meja bar, dan berpindah ke sisi meja didepan mesin kopi. Dua pria ini memesan cappuccino, dan dengan sigap dilayani oleh Ian. Dua pria ini kemudian membayar kopi pesanan mereka dan meninggalkan cafe.

Ian menoleh ke sisi meja bar tempat Vira duduk, dan mendapati Vira sudah tidak ada di kursinya. Saat itu Ian sadar, Vira benar-benar marah, dan Ian sedikit menyesali sikapnya. Dia lupa, bahwa selama ini Vira tidak pernah berbagi tentang cerita kencannya dengan seorang pria di depan Ian. Dia lupa, bahwa selama ini, dia lah yang lebih banyak bercerita pada Vira. Cerita-cerita gila, mesum, yang mungkin terlalu vulgar untuk sebuah pertemanan. Ian yang selalu bercerita tentang berapa perempuan dari Finder yang dia kencani dalam satu minggu, atau satu bulan. Cerita yang dengan tulus didengarkan oleh Vira, tanpa mengeluh, tanpa mengolok-olok, tanpa men-judge. Tapi satu cerita Vira di hari itu, dipatahkannya dalam hitungan menit. Sesaat kemudian Ian merasa bersalah, tetapi dia tidak mengenal istilah meminta maaf. Vira yang sabar pasti mau memaafkannya, setelah hitungan jam mereka berdebat, bahkan tanpa Ian perlu meminta maaf.

Senyum di bibir Ian mengembang saat suara notifikasi handphone membuyarkan lamunannya. Itu pasti Vira, pikir Ian. Segera dia sambar handphone-nya disamping mesin kopi. Bukan pesan, dan bukan Vira, melainkan match baru dari Finder. Cantik, putih, dan sexy, sesuai tipe Ian. Shintia namanya. Senyum Ian melebar. New girl to date, pikirnya. Ian pun memulai jurusnya untuk menarik perhatian Shintia, seperti yang biasa dia lakukan pada perempuan lain di Finder, yang entah tak terhitung jumlahnya. Baginya, tidak ada perempuan yang tidak bisa ditaklukkan. Semakin sulit ditaklukkan, semakin dia bersemangat mengejar. Menaklukan perempuan, adalah hobinya. Sesaat kemudian, diapun lupa rasa bersalahnya pada Vira. 

THE FINDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang