Sore itu, pertama kalinya Ian datang ke kos Vira setelah 2 minggu dia tidak melihat Vira lagi datang ke cafenya. Waktu yang cukup lama, mengingat biasanya dia datang ke kos Vira setiap 2 hari sekali. Ian menaiki tangga kos Vira dengan menuju ke pintu kamar Vira. Sabtu sore itu dia bermaksud memberi kejutan untuk Vira, setelah hampir dua minggu dia menghilang tanpa kabar. Ian sadar, sikapnya di cafe waktu itu, sepertinya benar-benar membuat Vira marah. Hazelnut Cappuccino di tangan kanan, dan sekotak cokelat di tangan kiri. Semoga cukup untuk mengibarkan bendera putih, pikirnya.
"Vir,,," panggil Ian sambil mengetuk pintu kamar.
Berulang kali Ian mengetuk pintu dan memanggil Vira, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Ian duduk di anak tangga, didepan pintu kamar Vira, termenung, mungkin Vira sedang pergi? Tapi kemana? Ian berdiri, meletakkan Hazelnut Cappuccino dan kotak coklat di depan pintu kamar Vira, hingga akhirnya Vira membuka pintu kamar dengan ekspresi datar.
"Hehehehe,,, boleh masuk nggak?" ucap Ian mencoba mencairkan suasana.
Tanpa menjawab, Vira membukakan pintu kamar lebih lebar, sebagai tanda Ian boleh masuk ke kamarnya. Vira duduk didepan meja riasnya, membersihkan wajahnya dan menunjukkan sikap acuh terhadap Ian. Ian sadar, Vira masih belum memaafkannya. Perlahan Ian masuk ke kamar Vira, meletakkan Hazelnut Cappuccino dan kotak cokelat di meja kerja Vira, disamping tempat tidur.
"Jangan marah terus dong Vir, nggak asik ah!" ucap Ian mencoba melunakkan hati Vira.
"Hmmm,,," gumam Vira tanpa menoleh.
"Tuh aku bawain kopi kesukaan kamu, sama cokelat, kita baikan yah?" Ian melirik ke arah Vira, sambil meloncat ke kasur.
Sambil menggambar alis di wajahnya, Vira masih terdiam, dilanjutkan dengan menyapu maskara di bulu matanya.
"Iyaaaa, aku salah. Nggak seharusnya aku ngomong gitu sama kamu, nggak akan aku ulangi deh, janji, baikan yah?" rayu Ian sambil tengkurap dan melirik ke arah Vira.
"Hmmmm,,," masih dengan acuh Vira hanya menggumam.
Tetapi dalam hati, Vira berpikir bahwa perdebatan ini seharusnya tidak perlu menjadi besar. Hanya gara-gara Finder, kenapa dia harus bertengkar dengan Ian, sahabat gilanya yang sudah hampir 1 tahun menjadi "penghibur"nya? Egonya menurun, Virapun berdiri mendekati meja kerjanya, mengambil Hazelnut Cappuccino yang dibawakan oleh Ian, membuka kotak cokelat disamping laptop putihnya.
Ian kegirangan didalam hati. Seandainya dia bisa mengekspresikan kegembiraan dalam hatinya, mungkin dia akan meloncat-loncat di atas kasur tempat dia tengkurap. Tapi Ian harus mengontrol sikapnya, jangan sampai Vira tahu bahwa dia senang Vira sudah memaafkannya. Diam-diam Ian memperhatikan Vira yang terlihat seolah siap untuk keluar, entah kemana. Mungkin Vira malam ini ada kencan dengan bule Finder yang waktu itu? Ian mulai diserang rasa penasaran.
"Kamu nggak keluar malam ini? Nggak ada kencan?" tanya Vira sambil mengunyah cokelat berbentuk hati.
"Nggak! Kamu mau jalan? Yuk? Nonton?" tanya Ian bersemangat.
"Malam ini aku mau jalan sama Louis" ucap Vira sambil mengunyah cokelat kedua.
"Ini bule yang waktu itu? Kamu masih kencan sama dia?" Ian sedikit kaget. Ternyata tebakannya benar.
"Iya dong, komunikasi lancar, kita udah beberapa kali ketemu setelah kencan terakhir waktu itu" Vira merasa menang karena perkataan Ian terbukti salah.
Ian merasa dongkol, bukan cuma karena dia salah dengan dugaannya tentang Louis, dan nada bicara Vira yang terdengar mengolok-oloknya, tetapi juga karena dia merasa kalah. Dia ingin mengatakan sesuatu, kata-kata menyerang dan menjatuhkan, seperti yang biasa dia lontarkan ke Vira, tapi dia tidak bisa. Baru satu menit dia dan Vira berbaikan, tidak mungkin dia merusak suasana dengan mengatakan kata-kata sarkastis lagi. Akhirnya Ianpun memilih diam.
"Mau jalan kemana?" tanya Ian sambil membalikkan badannya, dan tiduran terlentang.
"Dia ngajak aku nonton konser musik klasik, habis itu makan di Wine Place, dia bilang disitu main course nya enak, hehehe" ucap Vira sambil memoles lipstik warna peach dibibirnya.
"Ohh,,,berkelas ya" balas Ian sambil mengambil bantal kecil untuk menutup wajahnya.
"Hmmmmm,,," Vira bergumam, sadar mulut Ian mulai nyinyir.
Vira mengambil kotak warna hitam didalam lemari bajunya dan berjalan ke kamar mandi. Tidak lama dia kembali dengan mengenakan cocktail dress berbahan satin berwarna krem.
"Gimana? OK nggak? Ini dress dari Louis" Vira berdiri didepan pintu kamar mandi sambil berpose bak model.
Ian membuka bantal kecil yang menutupi wajahnya dan memperhatikan Vira dari tempat tidur, dari kaki ke kepala, dan kembali dari ujung rambut hingga ujung kaki. Selama beberapa detik Ian tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Vira yang selama ini selalu kucel, sore itu terlihat cantik dan menarik. Atau mungkin matanya bermasalah? Ian terdiam selama beberapa detik, terhanyut dalam keterkejutannya, tapi berusaha bersikap wajar.
"Lumayan" jawab Ian singkat, lalu menutupi wajahnya lagi dengan bantal kecil.
"Temen apaan kamu, nggak pernah memuji temen. Bilang cantik kek dikit" Vira menyambar parfum diatas meja rias dan menyemprot ke leher dan pergelangan tangannya.
"Iyeeee cantik kaya Queen Elizabeth,, serius lho" ledek Ian sambil tertawa.
Vira menyambar bantal disamping Ian dan memukulkannya ke perut Ian, membuat Ian tertawa cekakakan.
"Aku pergi dulu ya! Nanti kalo kamu pulang, kunci taruh didalam sepatu aja, sepatu olahraga" ucap Vira sambil memeriksa isi clutchnya.
Vira berjalan meninggalkan Ian dikamarnya tanpa menunggu jawaban Ian. Ian mendengar langkah kaki Vira bergerak semakin menjauh. Dilemparnya bantal yang menutupi wajahnya. Ian menatap pintu kamar mandi tempat Vira tadi berdiri dan berpose. Tiba-tiba dia teringat wajah Vira, yang ternyata manis meskipun dengan sedikit polesan make up. Gaun satin warna krem yang dipakainya, semakin menunjukkan bentuk badannya yang ternyata ramping. Belahan dada Vira yang sedikit turun, Ian sadar malam ini bule itu yang akan menatapnya lama-lama. Dan tiba-tiba Ian keheranan, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu. Ian mencoba mengelengkan kepala agar pikirannya tidak lagi melayang-layang teringat Vira. Ian menoleh ke arah handphonenya yang tiba-tiba berbunyi, mungkin Vira lupa sesuatu, pikirnya.
"Ian, I miss you, can I see you tonight?" ternyata sebuah pesan pendek dari salah satu match nya di Finder.
Ian tersenyum simpul. Lamunan pendek tentang Vira langsung menghilang. Ian kembali menjadi dirinya. Ian yang playboy, Ian yang tidak mengenal komitmen, Ian yang penggila wanita. Tanpa berpikir panjang dia bergegas meninggalkan kamar Vira, menguncinya dan meletakkan kunci kamar di sepatu olahraga, sesuai permintaan Vira. "It's play time!" batin Ian.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FINDER
RomanceVira mengenal Louis lewat situs kencan, pria bule yang tidak hanya berpenampilan menarik, namun juga baik hati, perhatian, romantis dan bahkan berpendidikan. Sementara itu Ian, sahabat Vira yang playboy, berpendapat bahwa Louis sama saja dengan pria...