Prolog

47 8 4
                                    

A/N : Yang di mulmed itu Aurora Ribero as Teressa Caitlin ya. Menurut gue cocok banget buat jadi visualnya Tere. Cuek gimana gitu.

•••

"Jadi, kita akan pindah ke Jakarta, Pa?" tanyaku untuk memperjelas ucapan Papa tadi.

Papa tersenyum kepadaku, lalu mengangguk. "Iya. Minggu lalu, Papa dapet perintah dari bos Papa langsung, untuk kerja di kantor pusat. Untuk kepindahan sekolah kamu, sudah Papa urus. Papa juga sudah daftarkan kamu di salah satu sekolah di Jakarta," jelas Papa padaku.

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya aku mengangguk menyetujui ucapan Papa. Lagipula, tidak ada seorang pun yang akan aku rindukan di Kota Kembang ini. Jadi... kupikir pindah bukan hal yang patut dijadikan masalah.

•••

Aku mengalihkan perhatian dari salah satu novel favoritku yang berjudul "TUESDAYS WITH MORRIE" karangan Mitch Albom, ke arah pintu kamarku yang baru saja diketuk dari luar. "Masuk saja...! Pintunya tidak dikunci," seruku.

Kulihat Mama membuka pintu, lalu masuk ke kamarku. "Mama nggak ganggu kamu, kan?" tanya Mama.

"Tidak. Mama tidak mengganggu."

Mama duduk di tepi kasur milikku. "Sini... duduk samping mama," titah Mama sambil menepuk-nepuk tempat di sampingnya.

Aku menurut. Aku meletakkan pembatas buku yang kubuat sendiri, di sela-sela novel, lalu kututup dan kuletakkan novelku di sudut meja. Setelah itu aku beranjak dan duduk di samping Mama.

"Kamu beneran nggak keberatan kalau kita pindah ke Jakarta, kan, Re?" tanya Mama khawatir, dan langsung kujawab dengan gelengan kepala. "Tidak, Ma. Kan di sana sama-sama bisa belajar." jawabku

Aku sebenarnya tahu kalau Mama sedang mengkhawatirkanku. Pasalnya aku adalah anak yang susah mendapatkan teman dan nyaman melakukan segala sesuatunya sendiri. Sifatku yang cuek dan frontal dalam berbicara- yang membuat orang-orang di dekatku tidak nyaman. Bahkan dua belas tahun, sejak aku tinggal di Bandung, aku sama sekali tidak memiliki teman.

Mama menepuk pelan pahaku. "Ck! Bukan itu yang Mama maksud, Tere."

Aku tersenyum tipis. Sangat tipis. Tapi aku yakin kalau Mama menyadari itu. Kuusap sebelah tangan Mama yang berada di atas pahaku menggunakan ibu jariku. "Tere akan baik-baik saja, Ma," kataku, menenangkan Mama.

Mama menatapku dengan sendu. Aku memang tidak memiliki teman. Semua orang menjauhiku di sekolah. Kata mereka, aku terlalu sombong, cuek, dan menutup diri. Sekalinya aku berbicara pasti akan menohok hati mereka, dan membuat mereka semakin membenciku.

Sebenarnya bukan maksudku untuk mengucapkan kata-kata yang menohok atau melukai perasaan mereka. Hanya saja sudah pembawaanku yang begitu. Aku juga tipikal anak yang tidak suka keramaian dan suasana yang bising.

Tiba-tiba Mama merubah raut wajahnya menjadi lebih sumringah. "Ini kesempatan buat kamu, Tere. Kamu bisa memulai semua dari awal di sekolah baru kamu. Kamu bisa membuktikan kalau kamu juga bisa punya temen." kata Mama dengan semangat.

Aku menghela nafas. "Tere sudah terbiasa seperti ini. Tere sudah nyaman." elakku.

"Mungkin kamu memang sudah terbiasa seperti ini. Tapi tidak untuk selamanya. Manusia itu membutuhkan orang lain di sampingnya. Mama sama Papa nggak mungkin akan selalu ada buat kamu. Kalau Papa sama Mama nggak ada... kamu bagaimana?"

Aku terdiam dan mencerna ucapan Mama. Memang apa yang dikatakan oleh Mama adalah benar adanya. Tidak ada orang lain di hidupku selain Mama dan Papa. Bahkan dengan keluarga besar pun, aku tidak terlalu akrab. Aku lebih sering memisahkan diri ketika sedang berada di acara keluarga. Apalagi kalau Tante Rini sudah membanding-bandingkanku dengan Wulan-anaknya. Aku benar-benar ingin menghilangkan diri ketika berada di situasi itu.

"Punya teman itu menyenangkan, lho.... Bisa bercanda bareng, bisa belajar bareng, bisa jalan-jalan bereng, punya temen curhat, dan masih banyak hal-hal lain yang menyenangkan ketika kita punya teman, deh! Emangnya kamu nggak mau...? Kamu juga nggak bisa selamanya menutup diri seperti ini. Mama harap kamu bisa menyesuaikan diri di sekolah baru kamu, ya? Mama sama Papa pengiiinnn banget, liat kamu punya banyak temen," kata Mama lagi.

"Tapi Tere susah merubah sifat Tere,"

"Dicoba dulu. Nggak harus berubah drastis. Semua kan juga perlu waktu. Perlahan-lahan aja." kata Mama tetap membujukku.

Entahlah. Kedengarannya begitu sulit, di telingaku. Itu artinya aku harus menyesuaikan diri dengan mereka bukan? Aku melihat tatapan penuh harap dari Mama. Rasanya tidak tega untuk menolak dan meluhat raut kecewanya.  Sebenarnya sudah lama aku tahu kalau Mama dan Papa ingin sekali melihatku punya teman. Ayolah? Memangnya orang tua mana yang mau melihat anaknya sering diejek dan tidak punya teman?

"Baik, Ma. Akan Tere coba," kataku sambil tersenyum tipis. Kurasa mencoba tidak ada salahnya kan? Toh aku tidak akan rugi.

"Nah! Gitu, dong. Kamu juga, kalo ngomong yang panjang aja kalimatnya. Jangan pelit-pelit, ah!"

"Iya, Mama Marisa Arumi," kataku disambut tawa geli milik Mama.

Mama meraih tubuhku ke pelukannya. "Mama sama Papa cuman mau yang terbaik buat kamu," tuturnya, diikuti kecupan di puncak kepalaku.

"Iya, Ma."

Mama melepaskan pelukannya. "Mulai kemasin barang-barang kamu dari sekarang, gih! Jangan sampe ada yang ketinggalan ya? Tidurnya jangan kemaleman. Mama mau turun dulu."

Aku mengangguk. Mataku terus menatap Mama, sampai tubuhnya tak terlihat lagi ketika pintu ditutup.

Aku merebahkan tubuhku, dengan posisi terlentang. Menatap gantungan berbentuk planet-planet yang tergantung di langit-langit kamarku. Sejujurnya aku masih ragu dengan keputusanku untuk mulai merubah sifat dan mulai berbaur dengan remaja lain. Tapi setelah kupikir-pikir... sepertinya tidak ada ruginya untukku. Mungkin memang sudah saatnya aku keluar dari zona nyaman ini.

After You ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang