1. Tragedi Hari Pertama

38 8 6
                                    

Aku masih betah duduk di gazebo yang ada di halaman belakang rumah baruku. Mataku sesekali kualihkan dari layar laptop, ke segala penjuru halaman belakang. Kemarin sore, aku tiba di Jakarta. Menurutku, rumah baruku ini lebih besar dari rumah lamaku di Bandung. Meskipun begitu, rumah yang kutempati sekarang, tetap bernuansa alam, seperti rumah impian Mama.

"Tere!"

Aku menoleh ke arah Mama yang berdiri tepat di daun pintu. "Iya, Ma?"

"Nulisnya dilanjut nanti lagi. Sekarang makan dulu, yuk!"

Aku mengangguk. Mungkin karena sedari tadi aku terlalu asik melanjutkan ceritaku yang aku unggah di platform wattpad, sehingga aku tak sadar bahwa sekarang sudah masuk waktu makan siang. Kututup layar laptopku setelah mengalihkannya ke mode tidur.

"Gimana sama suasana rumahnya? Nyaman enggak?" tanya Papa, ketika aku baru saja duduk di meja makan.

"Nyaman. Tidak berbeda jauh dengan rumah yang di Bandung. Hanya saja... di sini lebih panas." kataku.

Kulihat papa terkekeh sambil menerima piring berisi nasi yang disodorkan oleh Mama. "Namanya juga Ibu Kota. Pabrik dan kendaraan tersebar dimana-mana. Sebenernya nggak jauh beda sama Bandung. Cuman, Bandung lebih mending, lah." kata Papa sambil memindahkan beberapa lauk ke piringnya.

Aku mengulum bibir bawahku, setelah menghabiskan makan siang. "Mmmm... tadi Tere lihat ibu-ibu di dapur." kataku.

Huftt! Aku tahu kalau kalimatku sangat buruk. Mungkin seharusnya aku langsung bertanya saja seperti, ibu-ibu yang di dapur siapa, Ma? Entahlah! Kadang aku memang seperti ini.

Mama mengelap mulutnya yang berminyak dengan tisu. "Oh, itu.... Panggil aja Bi Wati–asisten baru di sini. Baru dateng tadi pagi," jelas Mama. "Oiya! Papa udah dapet supir baru, buat antar jemput kamu ke sekolah. Namanya Pak Mumun," lanjutnya.

Dahiku berkerut. "Memang Tere tidak berangkat bareng Papa?" tanyaku.

"Kantor Papa saya sekolah kamu beda arah, Re," Papa yang sedari tadi mendengarkan, sambil memakan buah pepaya, kini bersuara.

Aku mengangguk-angguk.

"Oh, iya.... Tadi Amora telpon, Mama. Katanya mau ngajak kamu jalan-jalan. Gimana? Mau nggak?" tanya Mama sambil membereskan piring kotor.

"Lain kali saja, Ma," tolakku.

"Loh... kenapa?" timpal Papa.

"Tere mau menyelesaikan cerita. Udah mepet." jawabku. Sebenarnya aku mau-mau saja pergi dengan Amora–sepupuku. Tak enak juga, karena aku sering menolak ketika diajak pergi oleh Amora. Tapi saat ini aku benar-benar tidak bisa. Aku harus segera menyelesaikan naskahku agar bisa cepat-cepat dikirim ke penerbit.

Mama mengangguk. "Ya udah, deh. Nanti Mama bilangin ke Amora. Tapi lain kali mau ya. Nggak enak sama Amora. Masa tiap ngajak pergi kamu lagi nggak bisa."

"Iya, Ma."

"Cerita kamu kapan diterbitin, Re?" tanya Papa.

"Kalau tidak mulur, akhir bulan Agustus, Pa."

"Syukur kalau gitu. Papa seneng dengernya. Papa tunggu karya-karya kamu selanjutnya ya, Re?"

Aku mengangguk mengiyakan. "Doakan Tere, Pa," kataku. Kalian tahu? Rasanya senang sekali ketika orang tua kita mendukung apa yang kita suka.

"Mama dan Papa bakal selalu dukung kamu," kata Mama yang berjalan dari arah dapur setelah membantu Bi Wati.

"Pasti, itu!" sahut Papa.

•••

Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Tepat di hari ini juga, adalah pertama kali aku menginjakkan diri di sekolah baru. Aku menuruni tangga dengan seragam yang tertempel badge SMA Pandhawa di lengan sebelah kiri. Rambut sepunggungku dikepang sehingga terlihat rapi.

After You ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang