Episode Keempat

47 3 0
                                    

"hai aku Embun" sapanya sembari mengulurkan tangannya pada ku

"oh..em.. Agam" balas ku, sangat kaku

"Baru pertama ikut komunitas ini ya?" Tanyanya

"Em... iya"

"Kita kayaknya pernah ketemu ya? Dimana ya?" tanyanya lagi

"Em... di parkiran kampus, waktu itu aku lari dan hampir nabrak kamu" balas ku

"Oh iya ya, hehehehe..."
ah.... Tawanya sungguh renyah sekali

"Emang kamu lagi kejar-kejaran sama siapa?" selidiknya

"Sama pak polisi" aku tak tahu apa yang aku pikirkan, yang ada dipikiran ku langsung meluncur begitu saja lewat mulut ku, dan akhirnya jawaban konyol yang keluar.

"hahahahaha.... Kamu aneh" hanya itu balasnya dan membuat hati ku semakin bertedak cepat. Aku kira dia akan eneg dengan jawaban ku tapi dia malah tertawa dan kata "aneh" yang sudah lama sekali tidak ku dengar dari seseorang untuk ku, sukses membuat mata ku focus melihat tawanya.

Itulah perkenalan ku dengan Embun yang memang tidak berkesan sama sekali. Aku panik, aku kikuk dan kaku. Nafas ku memburu tidak karuan. Aku melihat sosok Bintang dalam Embun. Dan seketika ketakutan ku muncul lagi. Aku sempat memutuskan untuk berhenti megenalnya. Ya aku takut mengulang kisah sedih ku.

Aku memang sudah pernah berinteraksi pertama dengan Embun ketika di Pasar Besar, dan sampai sekarang sandal itu masih aku pakai. Jika bukan karena saran Duta, aku sudah menyudahi pertemuan ku dengan Embun. Tapi pada akhirnya nanti aku berterimakasih pada Duta.
***

Siang itu kami satu komunitas dibagi oleh mas Singo menjadi dua kelompok, karena tujuan kami ada dua tempat. Entah disengaja oleh mas Singo atau memang cuma kebetulan saja, aku satu kelompok dengan Embun. Kami kebagian daerah Jodipan yang saat ini terkenal dengan kampung warna-warninya. Sekolah alam kami ada di tempat tersebut.
Anak-anak daerah Jodipan sangat antusias, bahkan bukan hanya anak-anaknya saja, banyak orang dewasa bahkan orang tua yang ikut kami bermain. Melihat tawa mereka memang menenangkan. Mereka seakan tidak memiliki beban dalam hidup.

Kami membagikan buku tulis, buku gambar dan peralatan tulis pada anak-anak. Kami tidak mengajari mereka apa-apa, kami hanya mengajak mereka bermain. Anak-anak memang pada dasarnya harus bermain, ketika masa bermain mereka kita renggut, maka kita akan menghadapi generasi stress.

"kak sini deh.." seorang anak perempuan memanggil ku

"ada apa ra?" namanya Rara

"lihat tuh, kak embun cantik ya kak, baik, pinter lagi, Rara mau jadi kayak kak Embun ah kalo besar nanti". Aku hanya tersenyum mengiyakan apa yang dikatakan Rara.

Setelah aku benar-benar memperhatikan, memang benar kata Rara. Embun memang sempurna menurut ku. Aku memang tertarik, tapi tak tahu apakah Embun juga sama dengan ku. Aku bukan tipe pria penarik hati wanita, tampang ku pas-pasan dan otak ku cukupan lah. Aku terus menatap Embun dari jauh, akhirnya aku tersenyum sendiri.

"hayo.... Kak Agam suka ya sama kak Embun? Dari tadi liatin kak Embun mulu" Rara mengagetkan aku, yang membuatku malu bukan Rara, tapi ucapan Rara ternyata didengar oleh Embun sehingga menoleh kearah ku.

Sial, aku tidak siap. Akhirnya aku hanya bisa menutup mulut Rara sambil nyengir tidak jelas.

"ih.. Ra, kedengeran kak Embun tau... kamu rese juga ya, kakak hukum nih" aku menyergap Rara dan menggelitiki perutnya. Aku dan Rara tertawa bersama, sehingga menimbulkan kegaduhan dan menarik perhatian sekitar. Mereka akhirnya ikut nimbrung dan kami bercanda bersama. Embun pun mendekat, dia tersenyum manis kearah ku.

Novel Tanpa EpisodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang