Episode Kelima

29 2 3
                                    

Suasan Basecamp masih sepi, hanya ada Mbak Riri. Mbak Riri memang tinggal di Basecamp bersama dua anggota lain untuk menjaga agar Basecamp tidak kosong. Belum ada yang datang kata Mbak Riri. Mbak Riri menawari kami mau minum apa, aku hanya mengambil air putih dalam kemasan, Duta minta dibuatkan kopi. Bukan, Mbak Riri bukan pembantu, dia memang sudah terbiasa memasak atau membuatkan minuman untuk siapa saja yang datang. Kami semua memanggilnya Emak, karena jika kami sudah berkumpul yang menyapakan makan adalah Beliau.

Aku tidak tenang, aku gugup. Duta tentu tahu kegusaran ku.
“tenang saja kawan. Kau di sini bukan untuk melangsungkan akad nikah” godanya.

Aku hanya nyengir pahit, ku toyor kepalanya. Kembali aku sulut rokok yang kedua kali. Aku benar-benar tidak tenang. Padahal ini hanya koordinasi biasa, seperti yang sudah-sudah. Aku gugup. Aku gugup bertemu Embun, apa kalimat yang pas untuk menyapanya setelah sekian lama tak bertemu.

Mbak Riri kembali dengan membawa kopi pesanan Duta. Setelah itu kami bertiga ngbrl-ngobrol santai. Bukan hanya tentang komunitas tapi prihal lain juga. Hingga pada obrolan yang kesekian Mbak Riri dengan santai menyampaikan salam Embun untuk ku.

“oh iya Gam, kemarin Embun main kesini, trus dia nanyain kamu lho, aku bilang kamu gak pernah ke sini. Trus titip salam kalau kamu main ke sini” Mbak Riri masih santai.

“wah…. Pertanda ini Mak..” Duta menyahut

“Pertanda apaan nih Ta?” Tanya Mbak Riri penasaran. Duta tidak menajwab hanya memberikan isyarat dengan matanya. Aku hanya memukul lengan Duta pelan. Duta terkekeh diikuti mbak Riri, seakan dia tahu apa yang di aksud Duta.

“Percaya sama aku ya Gam, kalau dilihat dari pertanyaan Embun dan ekspresi ketika dia Tanya, itu bukan pertanyaan untuk hanya sekedar basa-basi lho Gam. Ada rasa semacam penasaran dan ingin tahu lebih jauh lho..” setelah terkekeh kini mbak Riri membuka percakapan lagi.

“aku gak tahu mbak, belum seberapa kenal juga aku. Baru beberapa hari kemarin” jawab ku sekenanya.

“Cinta itu gak butuh waktu lama untuk meresap Gam, hitungan detik malah”. Aku hanya tersenyum membalas perkataan mbak Riri.

“Jangan, menyia-nyiakan keterbukaan hati seorang wanita Gam, karena kalau sudah tertutup akan lama bukanya. Kasih dia kejelasan, dia akan memberikan hatinya sedikit demi sedikit”

“mmm… iya mbak”

Tak lama beberapa teman komunitas mulai berdatangan. Suasana menjadi ramai. Canda tawa kami meramiakan siang itu. Komunitas ini memang tidak membatasi, siapa saja boleh ikut. Komunitas ini tidak mengatasnamakan satu kampus, sehingga teman-teman kami dari berbagai kalangan se-Kota Malang.
Di tengah asiknya kami bercanda, saat semua tertawa riang. Embun datang bersama teman wanita yang juga satu komunitas. Embun melewatiku, kalian ingat kata-kata ku yang tentang waktu jadi melambat, kali ini aku benar-benar merasakan itu. Embun melewati samping kiri ku, dan mata kami sempat bertatapan seperseian detik, dia tersenyum pada ku. Senyum yang sangat indah. Aku kaku.
***

Pertemuan telah selesai, mas Singo sudah membagi-bagi tugas ke kami semua. Eksekusi masih satu bulan lagi. Memang perlu persiapan yang benar-benar matang jika bergelut dengan dunia sosial. Ketelitian dan kehati-hatian sangat diperlukan agar tidak salah sasaran dan tidak terjadi gesekan karena kecemburuan sosial. Belum lagi masalah premanisme yang sudah membudaya di negeri ini, mereka ada tapi tidak ada, mereka menguasai tapi tidak berkuasa. Mas Singo sudah mewanti-wanti agar kami tidak terpancing provokasi, fokus kami adalah anak-anak yang mau belajar saja.

Embun duduk sendirian waktu itu di bangku taman depan basecamp. Teman-teman lain sudah banyak yang pulang. Duta menyenggol lengan ku, memberikan kode agar aku menyapanya terlebih dahulu. Awalnya aku tidak mau, tapi melihat tatapan serius Duta bagai kakek sihir, mau tidak mau aku harus melakukannya.

Novel Tanpa EpisodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang