"Aku pernah dengar entah dari mana gitu sih, Jim, kalau rezeki bukan cuma tentang nominal uang yang kita dapatkan. Tapi, juga dari teman-teman yang baik, saling dukung, juga iklim kerja yang menyenangkan. Aku nggak bisa menjanjikan kamu bakalan diterima di tempat kerjaku, sih. Tapi kalau misal kamu gabung di timku, aku bakalan senang banget. Kita pernah bareng-bareng dalam waktu yang nggak sebentar. Aku tahu kamu."
Park Jimin nggak—atau belum— meributkan tentang nominal gaji yang bisa didapatkan. Baginya, itu masih jauh. Sebagai fresh graduate, bisa langsung mendapat kerja saja rasanya udah yang beruntung banget. Tapi, bukan berarti asal kerja juga, sih.
Pesan itu dari Jung Hoseok. Dulu menjadi kakak kelasnya ketika masih sekolah menengah pertama. Mereka juga tergabung dalam grup dance. Hoseok lebih tua satu tahun dari Jimin.
Mereka melanjutkan sekolah di tempat berbeda, tetapi masih berkomunikasi baik. Bukan teman yang sangat dekat, tetapi sekadar saling memantau lini masa sambil klik dua kali untuk menyukai foto yang diunggah atau sekadar komentar "hahaha".
Suatu hari, Hoseok mengunggah lowongan kerja. Perusahaannya sedang membutuhkan editor in house, penulis freelance, dan ilustrator freelance. Ya, dia bekerja di penerbitan. Lebih tepatnya bagian komik.
Ha? Bagaimana bisa dulunya dancer "tersesat" dalam dunia komik? Bahkan sekarang mengajak turut serta Jimin untuk tersesat bersamanya. Tentu saja, Hoseok tidak akan mengirim pesan itu—bahkan embel-embel tentang gaji—jika Jimin tidak lebih dulu mengirim DM ke akun Instagram Hoseok.
"Kak, aku tertarik menjadi editor," tulis Jimin dalam pesannya.
Apa ini semacam tersesat yang direstui? Tidak juga.
Dan hari ini, Jimin sudah berada di depan gedung berlantai sepuluh. Kantornya ada di lantai sembilan. Hari pertama yang disemogakan menyenangkan, beserta hari-hari berikutnya yang akan dia lalui.
"Kak Hoseok, aku datang!" ucapnya dengan semangat tertahan.
***
"Selamat datang, Jimin!" sambut Hoseok ketika Jimin datang bersama seorang perempuan bagian resepsionis.
"Halo...."
"Mina, terima kasih udah mengantarkan Jimin," ucap Hoseok.
"Sama-sama," jawab perempuan yang dipanggil Mina.
"Baiklah, karena kamu bagian dari timku, maka aku yang akan mengajakmu keliling di kantor ini." Perhatian Hoseok kembali ke Jimin.
Sejenak, Jimin ternganga dengan ruangan tempatnya berpijak. Dalam bayangannya, Jimin akan berhadapan dengan kubikel yang sangat formal seperti kantor-kantor pada umumnya. Nyantanya? Jimin seperti memasuki sebuah arena "bermain" yang menyenangkan.
"Hm, ayo aku tunjukkan meja kerja kita. Sekalian kamu meletakkan tas yang kamu bawa, Jimin," ucap Hoseok lagi, yang otomatis menghentikan ketakjuban Jimin sejenak.
"Baik, Kak."
Jimin meletakkan tasnya di kursi yang ditunjukkan Hoseok.
"Tarra! Inilah daerah kekuasaan kita!"
Di hadapan Jimin ada meja kotak besar yang dibagi menjadi empat bagian. Hoseok duduk di salah satu sisi sambil memutar-mutar tempat duduknya. Ya, di samping Jimin. Dua tempat duduk yang ada di hadapan mereka masih kosong.
"Di depan kita memang masih kosong. Ish, seharusnya mereka ada ketika menyambut orang baru. Tapi ya, sudahlah. Kamu nanti juga akan terbiasa dengan Kak Seokjin yang gemar traveling ke luar negeri dengan memburu tiket promo. Juga si Kulit Pucat yang bisa kupastikan sedang bertemu penulis di luar. Kalau tidak salah, memang sedang ada janji. Hm, mungkin dia akan datang siang nanti. Semoga saja."
Seokjin dan si Kulit Pucat.... Nama itu tersimpan dalam memori Jimin.
Kemudian, Hoseok melanjutkan tour-nya ke meja yang lain, memperkenalkan Jimin dengan orang-orang di kantor itu. Tidak terlalu banyak orang. Ada bagian administrasi, marketing, desain, juga ilustrator.
"Direktur kita hari ini juga tidak masuk. Dia punya ruangan khusus di situ," tunjuk Hoseok ke ruangan di samping meja kerja mereka. "Nah ruangan satunya yang kosong itu, biasanya untuk meeting."
"Menyenangkan sekali," kagum Jimin.
"Ya, aku bukannya tanpa alasan meyakinkanmu untuk bergabung di sini, Jim.
Jimin kembali tersenyum dan matanya memperhatikan setiap sudut ruangan. Pembagian area kerja tim ditempatkan di sudut sehingga menyisakan bagian tengah yang cukup luas. Inilah yang Jimin anggap sebagai area bermain. Di dekat pintu masuk tadi, ada tempat khusus untuk menerima tamu. Kemudian ada semacam pembatas berupa rak berisi komik yang sudah diterbitkan perusahaan ini. Dan, sepertinya di balik rak inilah yang menjadi tempat favorit; sofa empuk yang menarik siapa pun untuk bersantai di situ. Ada juga meja-meja kecil di dekat pantry untuk tempat menikmati kopi atau camilan sendiri.
"Aku tahu, pasti ada banyak pertanyaan. Terutama tentang Kak Seokjin dan si Kulit Pucat. Hahaha. Mereka memang hobi 'menghilang' tapi percayalah profesional mereka terhadap pekerjaan tidak bisa diragukan."
"Ah, iya."
"Pembicaraan kita di sini, barangkali akan mengganggu kinerja tim lain. Jadi, ayo kita berpindah ke ruangan meeting dan aku akan menjelaskan banyak hal tentang pekerjaan kita."
Hoseok lebih dulu masuk ruangan, sementara Jimin meminta izin untuk mengambil note dari tasnya. Iseng, dia melongokkan kepala ke meja yang ada di depannya. Sebenarnya Jimin cukup—iya, cukup—penasaran dengan sosok di balik nama si Kulit Pucat.
Barang-barang di meja itu mengingatkan Jimin kepada seseorang dari masa lalu. Tapi semuanya buru-buru ditepis.
"Sudah sangat lama. Nggak mungkin," guman Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
min[e]
FanfictionJimin sedih sekaligus bahagia. Sedih karena ternyata langkahnya yang dikira jauh nyatanya nggak berguna. Bahagia karena ternyata langkah jauhnya adalah mendekat sekali lagi kepada Yoongi. #yoonmin #bxb