"Ada yang terlewat. Aku nggak mungkin tanya ke roommate-mu," Hoseok memulai obrolan dengan Yoongi melalui telepon. Sengaja, kata "roommate" ditekankan.
"Pekerjaan bisa kita bicarakan besok, Hoseok...," Yoongi berusaha melamurkan obrolan.
"Ya udah, aku tanya Jimin."
"Kami pernah pacaran."
Hening beberapa saat.
"MIN YOONGI!!!!!" teriak Hoseok dari seberang. Beberapa detik sebelumnya, Yoongi sudah menjauhkan ponsel dari telinga. Seperti cenayang sudah bisa menebak yang akan terjadi.
"Pelankan suaramu, Bodoh."
"Kapan?"
"Kenapa aku harus laporan sama kamu?"
"Ih.... Kak...."
"Sampai jumpa di kantor, Hoseok," tutup Yoongi sepihak.
Tepat ponsel diletakkan kembali di meja, Jimin keluar dari dalam kamarnya. Atau lebih tepat calon kamarnya.
"Kapan akan mulai pindah?" serang Yoongi.
"Ha?"
"Bukannya tadi kamu bilang kalau diusir roommate-mu?"
"Ah, Taehyung nggak seburuk itu kok."
"Awet ya, kalian...."
"Karena dalam pertemanan, nggak ada kata putus, Kak."
***
Hoseok nggak menyangka bahwa terjadi banyak hal dalam rentang ketidakbersamaannya dengan Jimin selepas sekolah menengah pertama. Semuanya justru tersambung setelah tujuh tahun kemudian, dan ada peran Yoongi di situ.
Setelah bengong nggak jelas sambil menatap ponsel yang baru aja diputus paksa oleh Yoongi, Hoseok mencoba mencerna peristiwa yang terjadi hari ini. Dia seperti mengelompokkan puing-puing puzzle dan mulai tersusun. Masih samar, tetapi bisa dipastikan mendekati kebenaran.
Pagi tadi, Yoongi nggak langsung masuk ke kantor karena menghindari Jimin. Jika ditarik ke belakang lagi, keanehan dalam diri Yoongi dimulai ketika pemilik kulit pucat itu merebut kertas dari tangan Hoseok beberapa hari sebelumnya. Entah Hoseok yang terlalu polos, atau memang Yoongi yang selalu bersikap tenang, sehingga hal-hal ganjil tidak tertangkap oleh Hoseok.
Kalau dari pihak Jimin? Ya, memang ekspresi wajah Jimin lebih banyak tegang, canggung, dan gugup hari ini. Hanya saja, Hoseok mengira karena Jimin masuk ke lingkungan baru makanya perlu adaptasi. Lagian, bukan hal yang mudah menghadapi sosok Yoongi. Orang yang baru kenal—tetapi ternyata nggak, antara Yoongi dan Jimin—akan otomatis segan dengan aura yang mengungkung Yoongi. Galak dan misterius. Meskipun aslinya... ya... memang seperti itu.
Puncaknya adalah tawaran untuk tinggal bersama yang diberikan Yoongi untuk Jimin. Seorang Min Yoongi yang pernah hampir mati karena asam lambung karena nggak ada yang tahu. Ya, dia tipe orang yang abai dengan ponsel jadi nggak langsung mengabari temannya ketika sedang menderita sekalipun. Min Yoongi, yang nggak mau berbagi kamar dengan orang lain—bahkan Seokjin pernah merayu dengan sangat untuk tinggal bersama Yoongi tetapi tetap ditolak. Min Yoongi, yang seolah bisa melakukan apa pun sendirian tanpa melibatkan siapa pun. Lalu dengan mudahnya menarik Jimin masuk ke dalam hidupnya, menjadi bagiannya.
"Kali kedua. Wah, menarik. Akan ada banyak hal-hal menyenangkan di kantor!" Hoseok berbicara sendiri sambil gelundungan di kasur, kakinya menjejak ke sana kemari. Sangat girang.
***
"Sebentar lagi gelap, aku harus pamit, Kak," ucap Jimin.
"Ayo, aku antarkan lalu aku bantu berkemas biar lebih cepat," jawab Yoongi bersiap beranjak dari tempatnya duduk.
"Eh?"
"Langsung pindah, kan? Apa kamu nggak nyaman sama kamarnya?"
"Kak...."
"Min, aku tahu, bahkan sebelum sampai di sini dan melihat apartemenku, kamu udah kirim pesan ke Taehyung kalau kamu menemukan tempat tinggal baru. Jadi, kamu nggak perlu lebih lama mengusik kehidupan Taehyung dengan pacarnya."
"Asli cenayang...." ucap Jimin lirih. "Ada banyak yang harus aku siapkan, Kak. Kita pernah dalam keadaan tergesa-gesa lalu udah tahu jawabannya."
"Oh...."
Suasana menjadi nggak nyaman.
"Aku suka dengan apartemen ini. Sangat Min Yoongi. Aku suka kamarku, ruangan ini, balkon, kursi ayunan, tanaman, dan semuanya. Semuanya, Kak."
Termasuk pemiliknya, batin Jimin.
"Oke, kamu boleh pulang. Terima kasih atas kunjungan dan kesan-kesannya," ucap Yoongi.
Jimin nggak nyangka kalau akan terjadi seperti ini. Tapi, ya, inilah Min Yoongi. Dia nggak pernah berubah. Keinginannya yang mutlak, kehendaknya yang harus dipenuhi, keputusannya yang seperti paling benar sendiri.
Ada hening di antara mereka. Jimin mengambil ponsel. Bukan untuk menghubungi Taehyung dan mengadu tentang apa yang terjadi. Jarinya menyentuh aplikasi map untuk mengetahui posisinya sekarang. Sekaligus mempertimbangkan cara pulang.
Selama jari-jarinya bekerja, otak Jimin pun sedang memikirkan banyak hal. Apakah dia akan benar-benar menerima tawaran ini? Hey, belum juga 24 jam bersama, tetapi pertengkaran kecil udah menyerang Yoongi dan Jimin.
Jimin beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu keluar.
"Setidaknya kamu harus berpamitan sebelum pulang," ucap Yoongi.
Jimin mematung, tetapi posisinya membelakangi Yoongi. Tangannya mengepal, ada gejolak yang ditahan. Jika dia menangis, betapa cengengnya, betapa remehnya. Tapi sejujurnya hatinya sangat sakit. Hari ini begitu membalik kehidupannya. Bukan hal yang mudah menghadapi Yoongi. Perasaannya yang porak-poranda disusul dengan banyak hal mengejutkan. Jimin juga mengakui kalau dia nggak berubah. Masih sangat mudah dibaca oleh Yoongi, bahkan gerak-geriknya sekalipun.
Jimin beberapa kali menarik napas, menenangkan hatinya. Dia nggak mau mengeluarkan suara bergetar karena air mata sudah memenuhi pelupuk mata. Aktivitasnya dengan diri sendiri begitu sibuk hingga tidak mendengar Yoongi berjalan ke arahnya...
lalu memeluknya dari belakang.
"Maaf ya, Min. Aku cuma nggak mau kehilangan kamu lagi," bisik Yoongi.

KAMU SEDANG MEMBACA
min[e]
FanfictionJimin sedih sekaligus bahagia. Sedih karena ternyata langkahnya yang dikira jauh nyatanya nggak berguna. Bahagia karena ternyata langkah jauhnya adalah mendekat sekali lagi kepada Yoongi. #yoonmin #bxb