Park Jimin

146 26 13
                                    

Kabari kalau udah sampai. Ini Yoongi.

Jimin membaca pesan itu dengan tubuh menggelosor duduk di lantai dari posisi awal berdiri. Pertahanannya selama ini untuk mematikan laporan baca pada pesan teruji sangat berguna. Namun pertahanannya untuk nggak meleleh lagi karena Min Yoongi gagal total. Jimin tahu, orang di seberang sana sedang menunggu balasan pesan itu, tetapi dia kini masih sibuk menyusun kalimat. Bukan yang mengetikkan di badan pesan, karena Jimin nggak mau ketahuan sedang typing lama saat proses ketik-hapus.

"Aku udah sampai lima menit yang lalu," ucap Jimin sambil mengetik balasan pesan yang dirasa paling pas. Lalu dia menekan tombol kirim.

Lima belas menit kemudian, Jimin masih dengan posisinya semula; duduk di lantai sambil bersandar pada tempat tidur. Matanya lekat pada ponsel di genggaman yang nggak kunjung mendapat notifikasi pesan balasan.

"Ish, Min Yoongi sekali. Lagian apa yang kuharapkan dari pesan tadi? Bukannya memang udah nggak perlu dibalas, ya?" tanya Jimin kepada dirinya sendiri.

Lantas, Jimin menaruh ponselnya di nakas. Dia bersiap membersihkan diri untuk bersiap lagi beres-beres barangnya yang akan dibawa pindah.

Apa aku perlu ke situ untuk membantumu berkemas, Min?

Ponsel bergetar, balasan dari Yoongi. Belum dibaca. Jimin sedang bernyanyi di kamar mandi.

***

Bagi Jimin, kelemahan terbesar dalam hidupnya adalah Min Yoongi. Ada banyak pergolakan dalam dirinya antara menarik dan menolak. Yoongi selalu memberi efek itu. Dan penolakan sepertinya lebih banyak kalah.

Kalau ditanya apakah Jimin bahagia bahwa pemilik meja di depannya adalah Yoongi, bahwa si Kulit Pucat yang dimaksud Hosek adalah Yoongi, bahwa Min Yoongi yang awalnya hanya didengar sebagai nama ternyata berwujud Min Yoongi-nya, tentu akan sulit menjawab. Dia sedih sekaligus bahagia. Sedih karena ternyata langkahnya yang dikira jauh nyatanya nggak berguna. Bahagia karena ternyata langkah jauhnya adalah mendekat sekali lagi kepada Yoongi. Hm, bagaimana, ya?

Kenapa Jimin langsung menerima tawaran untuk tinggal bersama Yoongi? Jika dibalik bertanya seperti ini, barangkali jawaban Jimin juga sama dengan jawaban Yoongi. Ya, karena dia adalah Yoongi makanya nggak ada keraguan dalam diri Jimin.

Tinggal bersama Taehyung selama kuliah hingga awal masuk kerja, bukan hal buruk. Ya, kecuali seperti yang dibilang sebelumnya di apartemen Yoongi. Taehyung sering berkeliaran tanpa memakai baju, sering masuk kamar Jimin tanpa permisi, dan merokok di dekat Jimin meski Jimin terang-terangan nggak nyaman. Oh ya, untungnya Taehyung bukan tipe orang yang suka memeluk tiba-tiba. Taehyung nggak pakai baju, bukan masalah meski Jimin agak nggak nyaman. Tapi jika membayangkan itu adalah Yoongi, Jimin takut akan mimisan dan membuat lantai kotor dengan darah berceceran. Oke, ini berlebihan. Taehyung sering semena-mena masuk ke kamar Jimin dan itu bukan masalah besar walaupun Jimin pernah melakukan hal sama tetapi yang ditemui justru dua orang sedang asyik di ranjang—Taehyung dan pacarnya yang seperti selalu kelebihan hormon. Tetapi jika yang masuk kamar Jimin adalah Yoongi, Jimin terlalu takut membayangkan mereka akan berakhir sama seperti Taehyung dan pacarnya. Taehyung merokok adalah masalah bagi Jimin, seperti Yoongi yang tiba-tiba memeluk. Itu juga masalah yang lebih besar. Jimin takut berbalik lalu membalas pelukan Yoongi... dengan badan bau karena belum mandi.

***

"Jimin...." panggil Taehyung yang saat ini sedang berdiri bersandar pintu kamar Jimin, melihat si pemilik kamar hampir tenggelam di antara baju dan barang-barang yang dikeluarkan dari lemari.

"Oe... udah makan? Perlu kubuatkan ramen?" tawar Jimin.

"Kamu melukaiku."

"Ha?"

"Dalam perjalanan pulang tadi aku memikirkan kalau kamu pergi dari sini. Pikiran ini sebelumnya nggak pernah mampir di dalam otakku. Aku baru sadar kalau akan kehilangan orang yang tukang ngomel karena asap rokok. Lebih-lebih seperti yang barusan kamu bilang. Nggak akan ada lagi yang bakalan bikinin ramen saat aku pulang kerja," ucap Taehyung panjang.

"Hahahaha jangan berlebihan. Kan, nanti ada pacarmu. Tunggu sebentar, ya. Setelah semua ini beres, aku masakin ramen. Ramen perpisahan!"

"Aku nggak berniat ngusir kamu. Aku cuma bilang kalau pacarku mau pindah ke sini. Kita bisa tinggal bertiga, sebenarnya."

"Taehyung, aku nggak mau ke kantor pagi-pagi dengan wajah kantuk dan frustrasi karena malamnya nggak bisa tidur," goda Jimin sambil tersenyum.

"Nggak perlu mengemasi semua barangmu. Kamu berlebihan kalau membawa semuanya ke apartemen baru." Taehyung mengalihkan pembicaraan.

Jimin melihat ke sekeliling. Berlebihan memang kalau membawa semua barang-barangnya. Empat tahun tinggal bersama Taehyung, tentu barang-barang Jimin nggak bisa dibilang sedikit.

"Oke. Aku balikin beberapa ke dalam lemari. Toh, kamar ini nggak dipakai pacarmu, kan?"

"Berhenti menggodaku, ya!" Taehyung sebal sambil menendang salah satu barang yang paling dekat dengan posisinya berdiri.

"Hahaha...."

"Kamu belum cerita tentang Kak Yoongi."

"Ya... nanti kita bicara setelah makan ramen, ya. Sebentar lagi ini beres. Sabar, Taehyung...."

"Oh ya, kamu tinggal di apartemen bareng teman kantor atau gimana? Kok gampang banget dapat apartemennya?" Taehyung penasaran.

"Iya."

"Siapa?"

"Min Yoongi."

Jimin susah payah menahan tawanya agar nggak meledak, melamurkan dengan berusaha sibuk memasukkan barang-barang ke dalam koper. Sementara Taehyung masih memproses informasi yang didapat dengan wajah cengo.

"BAJINGAN! Berhenti kemas-kemas! Ayo kita bicara!" perintah Taehyung sambil berteriak.

***

Sementara itu di lain tempat, ada seseorang yang menatap ponselnya sejak sejam yang lalu. Nggak ada pesan apa pun yang masuk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

min[e]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang