[1] REFUSE FORGET

4.3K 331 15
                                    

Bagi Hinata, hal yang paling menyebalkan saat menggambar digital adalah ketika layer sketsa dan layer line art berada di tempat yang sama. Bukan sekali, atau dua kali dia melakukan kesalahan yang serupa. Terkadang ia hanya dapat menggerutu sambil mengumpat kesal di depan wacom.

Wajah itu berubah masam, durja wajah di sana menunjukkan kekesalan dengan jelas. Stylus pen yang berada di tangan kanan itu digenggam sangat kuat. Jujur saja, dia menahan mati-matian untuk tidak melempar sembarang.

"Tidak, tidak," dia menggeleng kepala, "Kalian adalah sumber uang bagiku, tidak akan mungkin aku melukai kalian." pada akhirnya menyerah, memilih membuka kanvas baru. Meskipun tidak rela karena harus mengulang dari awal.

"Ah," menghela napas kemudian, tidak ada niatan hari ini untuk beristirahat. Hinata bisa melihat wajahnya dari pantulan wacom di depan mata. Kantung mata terlihat jelas, ikatan rambut juga tidak beraturan. Ini akibat karena terlalu sering begadang. Salah satu klien yang meminta commission padanya komplain karena gambar tidak sesuai.

Sejujurnya dia agak kesal. Bukan gambar yang buruk, Hinata mengakui bahwa gambarnya benar-benar bagus dan dia sering mendapatkan bonus, atau bayaran lebih dari klien ketika gambar sudah selesai. Untuk masalah ini, klien kurang puas dengan hasil akhir. Mengatakan bahwa karakter yang dia gambar jauh dari kata seksi.

"Sialan!" Hinata menyumbat hidungnya dengan tisu karena mimisan. Hal ini terjadi akibat dia menggambar boys love. Kalau bukan karena bayaran yang tinggi, dia juga tidak akan mau menggambar seperti ini.

"Kalau dia tidak membayar setelah sketsa selesai, aku tidak akan meladeni pesan-pesan itu lagi." sembari menggambar, mengumpat kesal. Dua hal yang bisa dilakukan sekaligus, beruntung tidak berakibat buruk pada gambarnya.

"Hinata! Apa kau berada di dalam?"

Gadis itu menutup telinganya, spontan stylus pen itu terlempar. Ia merangkak untuk mengambil dan meletakkan pada samping wacom. Suara berisik itu bersumber dari luar rumahnya. Code, lelaki SMA yang berhasil membuatnya kesal dan segera bergegas ke arah pintu sambil memberi tatapan peringatan.

"Apa!"

"Hei ̶ ̶ kenapa dengan hidungmu?" refleks tas sekolah jatuh ke lantai, pemuda itu menangkup pipi Hinata, namun ditepis segera. "Sakit, kau sangat tidak berperasaan." dia mendongkol sembari mengambil tas sekolah, lalu masuk ke dalam rumah dan berbaring di tempat tidur.

"Aku hanya terkejut," kata Hinata. Menarik tisu yang menyumbat lubang hidungnya dan membuang ke dalam sampah. Ia mengambil duduk kembali di depan wacom, lebih dahulu menggulung asal rambutnya. "Salah satu klien meminta menggambar boys love padaku. Bayarannya benar-benar tinggi. Sangat disayangkan apabila aku menolak."

Code mengambil sikap telungkup di atas kasur, menopang dagu sambil melihat sketsa yang digambar Hinata. Wajahnya merah padam, mengalihkan muka segera. Demi apa pun, itu terlalu sensitif untuk dilihat, Code yang merupakan seorang lelaki bahkan merasa malu melihat gambar di sana.

"Yaoi?"

Hinata mengangguk, melirik dari ujung matanya. Ia tersentak dan memicingkan mata tiba-tiba, lalu berbalik arah memandang Code. "Akau butuh referensi," katanya dan pemuda itu refleks mengambil sikap duduk. "Kau cukup manis untuk digambar, bahkan kau terlalu manis bila dikatakan seorang laki-laki. Referensi yang cocok untuk menjadi referensi gambarku."

"Tidak!" sanggah Code sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku tidak sudi jika aku kau gunakan sebagai referensi haram."

"Kita akan bagi hasil."

"Deal!"

Hinata memandang datar, cukup muda merayu pemuda SMA ini, pikirnya. Bahkan pemuda itu sudah mengambil pose di depan. "Buka bajumu," perintahnya dan Code mengangguk setuju. Masa bodoh dengan harga diri, lagi pula dia dibayar kali ini. Jika gadis itu mengatakan demikian, itu berarti bayaran yang diterima gadis itu dari klien benar-benar besar.

Refuse ForgetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang