5. Firasat

523 53 67
                                    

Dia berdiri di depan sebuah rumah besar bercat putih, hanya memandangnya. Sudah lima menit pria itu berdiri di sana sejak supir Uber menurunkannya di depan halaman rumah itu. Tak beranjak, hanya menatap dengan ragu, hingga sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Suara yang sudah dikenalnya seumur hidup, suara yang menenangkan jiwanya dan menjadi pelindungnya selama ini.

"Anakku, apa itu kau?"

Suara perempuan, begitu lembut, tapi ada rona kebahagiaan dalam suaranya ketika dilihatnya sosok yang menyerupai anak laki-lakinya itu berdiri di halaman rumah mereka.

Pria itu menoleh, memberikan senyuman. Namun dari raut wajahnya, perempuan itu sudah tahu, kalau anak laki-laki satu-satunya itu sedang kesulitan. Berjalan cepat, perempuan itu menyambut anaknya yang pulang ke rumah. Dia tak ragu untuk menghambur ke dalam pelukan anaknya, melepas segala kerinduan setelah sekian lama hanya bisa bertemu melalui video call.

"Mom, I'm home," ucap pria itu tak melepas pelukan erat pada ibunya.

"Kenapa tak mengabari jika kau akan pulang?" tanya sang ibu.

Mata pria itu hanya terlihat satu garis kala tersenyum. "Kejutan, Mom."

"Sejak kapan kau suka memberi kejutan?"

Pria itu hanya memandang wajah sang ibu. Garis-garis kerutan di sudut mata ibunya terlihat kala perempuan itu tersenyum.

"Ayahmu ada di dalam, ayo kita kejutkan dia!" ajak ibunya.

Mereka melihat sang ayah sedang membersihkan road bike di halaman belakang rumah mereka.

"Dad," panggilnya.

Ayahnya menoleh, sekilas terlihat kernyitan di dahinya, terkejut dengan kehadiran anaknya. "Kau? Mengapa kau ada di sini?"

Dia mengelap tangannya dengan kain bersih yang ada di dekatnya, lalu berdiri dan segera memeluk menyambut anak laki-lakinya itu.

"Kenapa tidak bilang akan pulang?" tanya ayahnya lagi.

"Aku ingin membuat kejutan," ucap sang anak.

"Tak biasanya," kata sang ayah. "Ayo masuk!" ajaknya.

Ayahnya mendekati rak televisi, membuka lacinya lalu menyerahkan amplop berwarna hijau kepada sang anak.

"Ini dikirimkan ke sini satu minggu yang lalu," terang sang ayah.

"Oh, aku juga sudah menerima surat elektroniknya."

Pria itu menatap undangan reuni dari sekolahnya dulu. Sebenarnya karena itu pula dia pulang ke rumah kedua orang tuanya, selama diberikan libur satu minggu oleh agensi.

"Apa karena ini kau pulang Johnny?" tanya sang ayah.

"Salah satu alasannya, tapi aku punya alasan lain mengapa pulang ke rumah."

_________

Ibunya sudah memasak makanan kesukaan putra semata wayangnya itu. Sepertinya sudah sekian lama ia tak memakan masakan ibunya, sehingga dengan lahap dia memakan seluruh masakan yang disajikan untuknya, dia sangat merindukan cita rasa yang tak akan pernah sama di mana pun. Karena biasanya di asrama dia hanya memakan masakan bibi tukang masak atau memesan makanan cepat saji dari restoran.

"Apa rencanamu selama di sini?" tanya Ayahnya.

"Hmm..." Johnny berpikir sesaat. "Selain menghadiri undangan reuni, mungkin bertemu teman lama."

"Kau tidak membuat masalah 'kan sehingga membuatmu pulang seperti sekarang?" tanya Ayahnya lagi.

Meskipun tersenyum, tapi raut wajah Johnny terlihat sendu.

Three words Eight Letters 2 [REVISI] ✔ | Johnny SuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang